dont stop me now

Slamethar's Blog

LAPORAN PENELITIAN

STUDI PEMBENTUKAN KOTA KOTABUMI DAN PEMEKARAN

KABUPATEN LAMPUNG UTARA

TIM PENELITI

  1. SLAMET HARYADI,SH.,M.HUM (Ketua)
  2. DRS. DADANG ISHAK ISKANDDAR,MM (Anggota)
  3. LAKSAMANA BANGSAWAN,S.Sos.(Anggota)

ASOSIASI PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA

KOMISARIAAT LAMPUNG UTARA

2006

ABSTRACT

Development issue of region and forming of otonomous area have come to trend in autonomous era. Because with development of region or forming of otonomous area just expected to bring acceleration of development, efficiency span to control prosperity and governance pass generalization and extension.

Recidence of   North Lampung have thrice experiencing of development that is Lampung Barat (1991), Tulang Bawang (1997) and Way Kanan (1999). Desire of the development it is true have old planned, because Recidence of North Lampung include cover 58% region of Lampung Province and become its  slowgoing recidence.

But there is still remain from thrice the development that is, desire form Kotabumi become Town. At least there is three strategic aspect which push…

View original post 6,278 more words

Leave a comment

Filed under Artikel

Berhenti..?!, tak ada tempat di jalan ini. Sikap lamban berarti mati. Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke muka Mereka yang menunggu, meski hanya sebentar, pasti akan tergilas.

MENATA ORGANISASI, MENGEJAWANTAHKAN FUNGSI PENGAWASAN YANG MANDIRI DAN KREDIBEL KOMISI YUDISIAL[1]

Slamet Haryadi,SH.,M.Hum.

Pengantar hati

Tulisan ini dipersiapkan untuk menjadi anggota Komisi Yudisial, dalam usaha menjadi anak bangsa, rupanya Tuhan belum mengizinkan,  gagal seleksi 14 besar, tapi sudah usaha.. Amiin Alhamdulillah.

PENDAHULUAN

Kehadiran Komisi Yudisial sebagai institusi  publik yang melaksanakan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (praktek peradilan) tidak terasa telah berjalan 5 tahun sejak diresmikan pada tgl 2 Agustus 2005 oleh Presiden.

Tuntutan reformasi terhadap Komisi Yudisial dapat menjalankan fungsi check and balance secara optimal dalam mengawasi praktek peradilan di Indonesia tampaknya belum sepenuhnya bisa harapkan. Komisi Yudisial belum dapat menjawab keprihatianan nasyarakat terhadap kondisi lembaga peradilan yang tidak banyak berubah dari waktu-kewaktu.

Pasal 24 B Amandemen UUD Negara RI tahun 1945 telah mengamanatkan, Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dalam melaksanakan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Kewenangan yang diberi undang-undang adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan menjaga dan menegakkan kehormatan,, keluhuran,martabat serta perilaku hakim.

Wewenang yang dibebankan Kepada Komisi Yudisial khususnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim tampaknya tidak mudah dan sesederhana sebagaimana di maksud dalam Pasal 24 B UUD 1945 ataupun Pasal 13 b UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial tidak cukup strategis untuk dapat menjawab amanat undang-undang dan amanat reformasi secara cepat, baik dan prestatif, sehingga meskipun telah berjalan lima tahun apa yang telah dilakukan terkait laporan atau pengaduan tentang tindakan hakim yang  tidak sesuai dengan etika profesi dan undang-undang tidak dengan mudah dapat di uangkap dan ditindaklanjuti.

Berdasarkan  laporan tahunan Komisi Yudisial  tahun 2009, bahwa sejak ber­diri­nya KY tahun 2005 sampai tahun 2009, Komisi Yudisial telah menerima 6.934 laporan pengaduan masya­rakat, dari jumlah tersebut sebanyak 1.760 laporan pe­ngaduan yang sudah meme­nuhi persyaratan kelengkapan dan diregister. Sudah dila­ku­kan pemeriksaan sebanyak 558 berkas, 120 orang saksi pelapor dan 100 orang hakim.  Belum diregister karena belum lengkap persyara­tannya sebanyak 1.156, serta laporan pe­ngaduan yang berupa tembusan sebanyak 4.018. Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa Komisi Yudisial kurang aktif dan  cenderung tidak mempunyai strategi dalam menyikapi dan menangani laporan dan pengaduan serta menyaksikan realitas  yang terjadi  terkait dengan perilaku hakim.

Perilaku hakim dalam kehidupan sehari-hari secara idealita dicitrakan dengan sifat-sifat yang terdapat pada logo hakim, yaitu :

1.      Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.

2.      Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.

3.      Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.

4.      Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.

5.      Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.

Kelima sifat tersebut bila di ejawantahkan oleh para hakim dalam praktek penegakan hukum,  lembaga peradilan  dapat menjadi lembaga yang benar-benar terhormat, karena kelima sifat tersebut menggambarkan etika profesi hakim yang terpuji.  Kenyataannya justru terjadi sebaliknya, hakim merasa tidak mampu mengemban sifat-sifat mulia yang memang berat seperti terdapat dalam logo,  sehingga kecenderungannya tidak sesuai dan menyimpang.

Perilaku hakim yang tidak sesuai dan tidak boleh dilakukan,  pada saat dalam persidangan diantaranya bersikap dan bertindak tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara, seperti memperlakukan secara berbeda orang yang berperkara, putusan ditetapkan secara subyektif karena sudah ada kepentingan pribadi atau kepentingan pihak lain. Pertimbangan hukum dalam putusan tidak jelas dan tidak konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis, Tidak bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan  keadilan. Hakim  melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan  sedang ditangani.  Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.  Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar acara persidangan.  dilarang Undang-undang. Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi. Perilaku Hakim di atas memerlukan pengawasan internal dan eksternal yang sistematis, terencana dan terus menerus, karena posisi hakim dalam kedudukan dan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Saat ini masyarakat telah sinis dan pesimis dengan perilaku hakim yang merendahkan profesinya yang terhormat di dunia hukum, sejak dulu sampai sekarang kekecewaan pada dunia peradilan di Indonesia terus terjadi.  Kilas balik sejarah peradilan dan peran hakim di masa lalu sebagaimana dikatakan Busyro Muqoddas, “intervensi negara terhadap peran pengadilan sebagai alat penguasa telah menimbulkan ketidakadilan struktural. Praktik peradilan yang akrab dengan transaksi jual beli putusan hakim (mafia peradilan= judicial corruption), merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama. Putusan, untuk sebagian hakim, ditentukan oleh fakfor money dan connection. Wajah kusut pengadilan yang diakibatkan oleh transaksi antara penjual putusan (hakim), pembeli (para pihak/terdakwa/kuasa hukumnya), broker (panitera dan cukong pembeli kasus dengan sistim ijon), menjadi penyumbang terbesar terjadinya pembusukan internal badan pengadilan. Lemahnya kepemimpinan, keteladanan, pengaruh keluarga, budaya patron klien dan manajemen pengadilan menambah berat dosis pembusukan tadi”[2]. Perilaku hakim dalam praktek peradilan sebagaimana diuraikan Busryo Muqoddas kenyataannya sulit di ungkap meskipun banyak laporan dan pengaduan yang diterima Komisi Yudisial.

5 (LIMA) MASALAH KRUSIAL

Memahami betapa pentingnya keberadaan komisi Yudisial sebagai lembaga check and balance bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak untuk menjalankan peradilan guna menegakkan  hukum dan keadilan, memang membutuhkan perjuangan dan usaha keras mengingat sejarah dunia peradilan yang selama ini cenderung terus dikangkangi oleh hakim-hakim yang merendahkan etika profesi hukum. Pengadilan yang diharapkan sebagai benteng terakhir keadilan, tidak lagi dapat dipercaya,  tertutup dan tidak tersentuh oleh kontrol public sehingga hukum dan keadilan bukan lagi sebuah nilai kebajikan yang berfungsi untuk meluruskan kebenaran yang dibutuhkan pencari keadilan.

Masalah krusial Komisi Yudisial adalah masalah pengawasan atas bekerjanya hakim-hakim di pengadilan dalam menegakkan  supremasi hukum. Oleh karena itu uraian yang berhubungan dengan perilaku hakim dalam kedudukannya dengan tugas dan fungsinya dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan masalah pokok hakim dan masyarakat, tetapi sekaligus masalah krusial Komisi Yudisial karena terkait wewenangnya sebagaimana dimaksud Pasal 13 b UU Nomor 22 Tahun 2004 yakni menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Hakim dalam menjalankan profesi hukum selain berdasarkan kode etik profesi, tetapi juga secara normatif Undang-Undang juga mengaturnya. Pasal 1 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Dalam UU RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan dalam beberapa pasal terkait dengan tugas hakim antara lain Pasal 1 disebutkan “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Lalu ditegaskan dalam Pasal 2 “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 3 ayat (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Demikian juga dalam Pasal 4 (1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. ayat (2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ayat (3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ayat (2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Kode etik dan peraturan perundang-undangan tersebut di atas sedikitnya telah mengatur tentang perilaku hakim dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu pelaksanaannya sangat tergantung kepribadian dan integritas Hakim. dalam memahami dan melaksanakan kode etik, dan Undang-Undang. Dari kekecawaan masyarakat terhadap hakim menyangkut pelaksanaan profesi hakim, diantaranya terkait masalah indepedensi, masalah mutu hakim dan mutu putusan.
Idealnya hakim di Indonesia juga bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa in concreto. Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia.
Dalam etika profesi hakim ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar code of conduct sebagai berikut:

1.               Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
2.         Menjaga dan memelihara integritas profesi.
3.         Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :

a. Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
b. Konsisten.
c. Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
d. Loyalitas.
Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat tertutup dari control maka perhatian terhadap kelemahan dan kekurangan Komisi Yudisial dalam menyelenggarakan tugas dan wewenangnya perlu kemukakan secara objektif.

Beberapa masalah krusial dalam pelaksanaan tugas Komisi Yudisial antara lain adalah sebagai berikut :

1.       Dari aspek hukum, kewenangan Komisi Yudisial yang di atur dalam Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun  2004 terkait pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial idealnya seleksi Calon Hakim tingkat pertama menjadi wewenang Komisi Yudisial karena kompleksitas permasalahan Hakim sebagian besar berada ditingkat Pengadilan Negeri, oleh karena itu pengawasan perlu dimulai dari ditingkat perencanaan, yaitu  dari Rekruitmen Calon Hakim tingkat pengadilan pertama.

2.       Dari Aspek Laporan dan Pengaduan, substansi pengaduan terkait dengan putusan hakim karena  terdapat indikasi transaksi jual beli putusan, tetapi karena putusan hakim merupakan independensi hakim, sehingga kesulitian dilakukan pemeriksaan dan pembuktian. Kecuali terbukti perbuatannya, atau putusannya terdapat kelalaian  yang disengaja tidak professional dalam analisis dan pertimbangan hukum putusan.

3.       Dari aspek Sumber Daya Manusia, pengawasan, proses perrsidangan yang dilaporkan ada indikasi peradilan memihak, tidak dapat di kontrol oleh Komisi Yudisial, karena keterbatasan sumberdaya, Biaya, jaringan sehingga Tugas Komosi Yudisial hanya menunggu Laporan dan Pengaduan Masyarakat.

4.       Dari Aspek rencana strategis , komisi yudisial tidak tampak arah gerakan di dalam upaya dan langkah-langkah mengawal penegakan hukum dalam praktek peradilan.

5.       Dari Aspek institusional Komisi Yudisial kurang menampakkan karakter organisasi modern yang mengawal penegakan hukum di pengadilan.

Oleh sebab itu Komisi Yudisial periode lima tahun kedepan ini harus mampu menjawab kelima masalah krusial tersebut sehingga apabaila Komisi Yudisial mampu menjawab dan menemu kenali masalah dan mencari solusi serta dapat merencanakan tindakan yang terukur dan kredibel serta professional maka dalam waktu lima tahun kedepan Citra Komnisi Yudisial secara bertahap dan pasti akan menjadi institusi yang benar-benar mengawal peradilan di dalam menegakkan hukum dan keadilan secara independen dan tidak memihak.

PENGAWASAN, KONSEP,TUJUAN DAN PROSES

Telah di uraikan dalam bagian sebelumnya, meskipun Undang-Undang memberikan wewenang Komisi Yudisial mengusulkan Hakim Agung dan menjaga dan menegakkan keluruhan dan martabat serta perilaku hakim. Pada hakekatnya  tugas dan wewenang Komisi Yudisial adalah Pengawasan. Bagaimana dapat menjaga dan menegakkan keluruharan martabat dan perilaku hakim bila Komisi Yudisial tidak mampu melakukan Pengawasan. Oleh karena itu dalam bagian ini uraian tentang Pengawasan dan dalam hubungannya dengan institusi Komisi Yudisial merupakan pembahasan utama.

Pembahasan tentang seperti apa pengawsan yang lebih kredibel dan professional sehingga terwujud penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independen, terlebih dahulu uraian di awali dengan mengemukakan konsep pengawasan yang menjadi inti tugas dan wewenang Komisi Yudisial.

Pengawasan dalam konsep manajemen merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi sangat mutlak diperlukan. Secara Internal oleh organisasi yang bersangkutan di bawah Pimpinan yang bertanggung jawab langsung terhadap pelaksanaan tugas dalam hal ini oleh Badan Pengawas Peradilan, dan secara eksternal oleh Komisi Yudisial yang memang di amanahkan untuk itu.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh badan peradilan yang dilaksanakan oleh hakim-hakim disemua tingkatan seperti selama ini, tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu pengawasan sebagai sebuah konsep maupun aktivitas harus menjadi kebutuhan bersama pada lembaga yang berwenang baik  pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara bersama-sama saling kordinasi untuk mewujudkannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab agar tercapai tujuan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

Mockler,[3] memberikan arti pengawasan sebagai : Controlling is a systematic effort by business management to compare performance to predetermined standard, plans, or objectives to determine whether performance is in line with theses standards and presumably to take any remedial action required to see that human and other corporate resources are being used in the most effective and efficient way possible in achieving corporate objectives.

Konsep pengawasan oleh Mockler di atas bertolak pada tiga hal, yaitu (1) harus adanya rencana, standard atau tujuan sebagai tolak ukur yang ingin dicapai, (2) adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (3) adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai dengan standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian konsep pengawasan dari Mockler ini terlihat bahwa ada kegiatan yang perlu direncanakan dengan tolak ukur berupa kriteria, norma-norma dan standar, kemudian dibandingkan, mana yang membutuhkan koreksi ataupun perbaikan-perbaikan.

Bertitik tolak dari pengertian tentang pengawasan  di atas, maka  pengawasan adalah sebagai suatu proses kegiatan manajemen yang sistematis untuk membandingkan (memastikan dan menjamin) bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi yang akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan standard, rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan­-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan, guna pemanfaatan manusia dan sumber daya lain yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan perusahaan, Situmorang dan Juhir[4] mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :

  1. Agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
  2. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat.
  3. Agar adanya keluasan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri masing?masing aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.

Lebih lanjut Situmorang dan Juhir[5] mengemukakan bahwa secara langsung tujuan pengawasan adalah untuk:

  1. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan perintah.
  2. Menertibkan koordinasi kegiatan?kegiatan
  3. Mencegah pemborosan dan penyelewengan
  4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang dihasilkan
  5. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi

Begitu pula dengan Maman Ukas[6] yang menyebutkan ada tiga fase pengawasan, yaitu (1) pengawasan awal, (2) pengawasan tengah berjalan, dan (3) pengawasan akhir. Lebih lanjut Maman Ukas memperjelas bahwa:

Maksud dari pada pengawasan awal yang mendahului tindakan adalah tiada lain untuk mencegah serta membatasi sedini mungkin kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan sebelum terjadi. Dengan kata lain tindakan berjaga-jaga sebelum memulai suatu aktivitas.  Pengawasan awal dalam kaitannya dengan tugas Komisi Yudisial adalah terkait dengan pengawasan Rekruitmen Calon Hakim tingkat pertama. Harus diakui bila proses-proses rekruitmen sebagaimana terjadi umumnya dalam organisasi birokrasi tidak lagi fair dan transparan, banyak ketidak adilan terjadi, lulus tidaknya calon Hakim tidak lagi karena kecerdasan, integritas dan kemampuan intelektual atau emosionalnya melainkan kemampuan koneksi dan finanisal.  Pengawasan awal ini penting dalam system Pengawasan untuk itu rekruitmen Calon Hakim yang fair dan transparan wewenang rekruitmen calon hakim diberikan kepada Komisi Yudisial agar Input Hakim menjadi lebih baik. Dengan baiknya input hakim, proses dan hasil dari praktik peradilan oleh hakim akan lebih baik sehingga usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independent dari sisi perencanaan akan lebih cepat tercapai.

Pengawasan tengah berjalan dilakukan untuk memantau kegiatan yang sedang dilaksanakan. Dengan cara membandingkan standar dengan hasil kerja, sehingga perlu ada tindakan-tindakan korektif untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan. Bukan hanya manajer yang bertindak, tetapi bawahan pun dapat melakukannya untuk dapat memberikan masukan pada organisasi bagi tindakan-tindakan perencanaan yang akan berulang di masa yang akan datang. Sebenarnya pengawasan akhir tidak berdiri sendiri tetapi merupakan hasil kombinasi pada pengawasan awal dan tengah.

RENTANG DAN WAKTU PENGAWASAN

Pengawasan Awal

Pengawasan Akhir

Pengawasan Tengah

Preventif                               Preventif- Represif                       Represif

Rekruitmen Calon Hakim  PN/MA

Hasil Putusan Hakim (output)

Proses Persidangan

Perbaikan

Berdasarkan pendapat Maman Ukhas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan pengawasan terhadap suatu aktivitas kerja dapat dilakukan sebelumnya, sedang berjalan dan sesudah proses kegiatan berakhir. Dengan demikian, maka sistem pengawasan harus dirancang sesuai dengan kegiatan-kegiatan tepat pada waktunya. Sementara Bohari [7] membagi macam teknik pengawasan sebagai berikut :

  1. Pengawasan preventif, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan?penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini biasanya berbentuk prosedur?prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini bertujuan:
    1. Mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dari dasar yang telah ditentukan.
    2. Memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efisien dan efektif.
    3. Menentukan saran dan tujuan yang akan dicapai.
    4. Menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.
  2. Pengawasan represif, ini dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan dengan membandingkan apa yang telah terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi. Dengan pengawasan represif dimaksud untuk mengetahui apakah kegiatan dan pembiayaan yang telah dilakukan itu telah mengikuti kebijakan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan represif ini biasa dilakukan dalam bentuk:
    1. Pengawasan dari jauh, adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara pengujian dan penelitian terhadap surat-surat pertanggungan jawab disertai bukti?buktinya mengenai kegiatan?kegiatan yang dilaksanakan.
    2. Pengawasan dari dekat, adalah pengawasan yang dilakukan di tempat kegiatan atau tempat penyelenggaraan administrasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka teknik pengawasan yang dilakukan harus dilakukan dengan berbagai macam teknik, semuanya tergantung pada berbagai kondisi dan situasi yang akan terjadi, maupun yang sedang terjadi/berkembang pada masing-masing organisasi. Penentuan salah satu teknik pengawasan ini adalah agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan pada tindakan yang telah dilakukan atau agar penyimpangan yang telah terjadi tidak berdampak yang lebih buruk, selain itu agar dapat ditentukan tindakan-tindakan masa depan yang harus dilakukan oleh organisasi.

Maman Ukas[8] menyebutkan tiga unsur pokok atau tahapan-tahapan yang selalu terdapat dalam proses pengawasan, yaitu:

  1. Ukuran-ukuran yang menyajikan bentuk?bentuk yang diminta. Standar ukuran ini bisa nyata, mungkin juga tidak nyata, umum ataupun khusus, tetapi selama seorang masih menganggap bahwa hasilnya adalah seperti yang diharapkan.
  2. Perbandingan antara hasil yang nyata dengan ukuran tadi. Evaluasi ini harus dilaporkan kepada khalayak ramai yang dapat berbuat sesuatu akan hal ini.
  3. Kegiatan mengadakan koreksi. Pengukuran-pengukuran laporan dalam suatu pengawasan tidak akan berarti tanpa adanya koreksi, jikalau dalam hal ini diketahui bahwa aktivitas umum tidak mengarah ke hasil-hasil yang diinginkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa proses pengawasan merupakan hal penting yang harus dijalankan oleh Komisi Yudisial, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh The Liang Gie[9] (1972:90) bahwa: Controlling/pengontrolan adalah aktivitas dalam manajemen berupa pekerjaan memeriksa, mencocokkan dan mengusahakan agar pekerjaan?pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana serta hasil yang dikehendaki. Pengontrolan ini merupakan salah satu fungsi manajer, di samping fungsi-fungsi lainnya: perencanaan, pembuatan keputusan, pembimbingan, pengkoordinasian dan penyempurnaan.

Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan rencana, sehingga pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

Berdasarkan Uraian di atas untuk menjadikan Komisi Yudisial mampu menjalan kan fungsi pengawasan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan analisis SWOT untuk evaluasi diri pada komponen sebagai berikut :

KREDIBILITAS DAN KEMANDIRIAN

Titik awal untuk melaksanakan pengawasan yang kredibilitas dan professional di mulai dengan menata ulang komponen penting organisasi yakni :

1.      Visi yang berani

2.      Perencanaan yang sistemik

3.      Penentuan wewenang dan mandat yang jelas

4.      Penetapan Metode yang spesifik

5.      Kepemimpinan yang efektif dan jelas.

Menciptakan visi yang berani[10], merupakan titik awal untuk menekankan hasil yang optimal yang harus dilakukan Komisi Yudisial terhadap komitmen, semangat dan kekuatan, serta realistis untuk diperjuangkan.

Visi Komisi Yudisial Kedepan adalah “MENJADI LEMBAGA PENGAWAS  YANG KREDIBEL DAN MANDIRI DALAM MENGAWAL PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN”.

Visi di atas menandaskan tentang usaha yang harus dicapai oleh Komisi Yudisial baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang sekaligus menunjukkan rasa kekuatan, semangat dan komitmen bersama tujuannya agar martabat dan perilaku hakim terjaga kehormatannya, pelaksanaan peradilan independen, fairly dan adil.inventing melalui Reenginering,Jakarta,PPM

Perencanaan yang sistemik, dalam tahap ini bahwa aktivitas Komisi Yudisial disiapkan untuk memberikan perbaikan pada semua proses yang mendukung penyelenggaraan organisasi secara lebih cepat dan mudah dikonsolidasikan secara  cepat dengan kinerja yang terukur sehinga dapat memberikan hasil yang optimnal dari semua implementasi rencana kegiatan. Yang telah tersusun dan  berpedoman rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Komisi Yudisial memerlukan pendelegasian dan mandat yang jelas serta dukungan yang kontinyu dari organisasi untuk memastikan bahwa sumberdaya yang diperlukan dipergunakan nuntuk merencanakan, mengelola, mengimplementasikan dan meneruskan aktivitas  yang telah ditetapkan secara sistemik tersebut.

Komisi Yudisial dalam merencanakan, mengelola dan mengimplemantasikan aktivitas pengawasan di dasarkan kepada langkah-langkah yang metodologis, teknis dan spesifik sehingga setiap hasil yang dicapai di dasarkan pada rencana pengelolaan dan pelaksanaan yang tepat diseetiap langkah proses tersebut.

Tahap yang penting adalah Komisi Yudisial dilaksanakan oleh praktek baik kepemimpinan yang efektif. Pemimpin Komisi Yudisial harus memiliki sejumloah ketrampilan dan kemampuan yaitu, kreatifitas, visi yang berpengaruh, pengetahuan yang mendalam akan tugas dan fungsi pengawasan dan kredibilitas yang diperoleh dari catatan pengalaman keberhasilan dalam memimpin organisasi. Ketrampilan yang luar biasa dalam kaitannya dengan orang termasuk  kemampuan memilih orang-orang yang tepat untuk mengimplimentasikan kegiatan dan motivasi yang kuat mendorong orang. Karakter yang tanpa cela dan pertimbangan yang sangat baik.  Pemimpin Komisi Yudisial bila tidak memiliki sejumlah ketrampilan dan kemampuan tersebut di atas maka upaya menjadikan Lembaga Pengawas yang kredibel dan mandiri akan mengalami  resistensi terhadap perubahan, lamban, alakadar dan pasif  sehingga tidak mampu menjawab tuntutan reformasi dan harapan masyarakat tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka.

Kotabumi,    Juli 2010

SLAMET HARYADI, S.H.,M.HUM

Daftar Pustaka

Bennis Warren,Michael Mische, 1996 Organisasi Abad 21, Reinventing melalui Reengnering, Terj.Irma Andriani R, Jakarta,PPM.

Bohari. 1992. Pengawasan Keuangan Negara. Jakarta : Rajawali Press.

Certo, Samuel C. & S. Travis Certo. 2006. Modern Management, Pearson Prentice Hall.

M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: PT Rineka Cipta.

The Liang Gie. 1972. Kamus Administrasi. Djakarta: Gunung Agung.

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

Undang-Undang  No.48 Tahun 2009Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang  No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

Undang-Undang  No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


[1] Disiapkan untuk Seleksi Pemilihan Calon Anggota Kmisi Yudisial RI.   Slamet Haryadi,  Kotabumi Lampung Utara,     Juni 2010

[2] Busyro Muqoddas, Makalah, Arah dan Kebijakan KY dalam Mengawal Penegakan Hukum di Indonesia,29 Juli 2006.

[3] Certo, Samuel C. & S. Travis Certo. 2006. Modern Management, Pearson Prentice Hall.Hal.480.

[4] M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Jakarta: PT Rineka Cipta.Hal.26.

[5] ibid

[6] Maman Ukas. 2004. Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung : Penerbit Agnini.hal.343.

[7] Bohari. 1992. Pengawasan Keuangan Negara. Jakarta : Rajawali Press. Hal.25.

[8] Maman Ukas. 2004. Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung : Penerbit Agnini.hal.338.

[9] The Liang Gie. 1972. Kamus Administrasi. Djakarta: Gunung Agung.hal.90.

[10] Bennis Warren,Mische, 1996 Organisasi Abad 21, Reinventing melalui Reengnering,Jakarta,PPM,hal.6.

ILMU HUKUM KRITIS : PEMIKIRAN DAN GERAKAN

Adagium ibi sociatas, ibi Ius yang dikemukakan cicero (dimana ada masyarakat, ada hukum) telah membuktikan korelasi dan interrelasi timbal balik antara keduanya baik pada masyarakat dalam tipologi konflic maupun masyarakat consensus selalu membutuhkan hukum sebagai pedoman menata hubungan individual maupun kelompok serta  pranata sosial yang ada untuk mencapai social welfare. Memang, upaya menjadikan hukum sebagai pedoman yang ditaati dan dapat diterima oleh masyarakat, tidak terlepas dari dinamika  teori hukum yang menjadi maind set, para pemikir dan penggeraknya.

Adalah teori hukum “legal positivism” menguasai belantara pemikiran pelaku hukum sejak dulu hingga sekarang. Pemikirannya tentang hukum tidak lain, dan selalu, hukum sebagai perangkat peraturan yang komplek direduksi menjadi simpel, linier, determinis dan mekanistik. Paradigma hukum seperti itu sangat doktrinal dikalangan akademisi, praktisi hukum sebagai penggeraknya. Di Indonesia populer dengan istilah “Legisme” yakni melihat dunia hukum dari kacamata perundang-undangan belaka untuk menghakimi peristiwa yang terjadi. Dalam praktik hukum, ingat saja Hakim Adi Andoyo yang kala itu menjadi Hakim Agung mencoba berinterpretasi keluar dari maind set legal positivism dalam kasus Muktar Pakpahan, melihat pasal penghasutan dengan perubahan zaman terutama terkait hak warga Negara untuk berpendapat. Putusannya dianggap controversial membebaskan Muktar Pakpahan, tak heran bila Hakim Agung Peninjauan Kembali, meletakkan putusan tersebut kembali dalam perspektif legal positifm.

Memang yang diinginkan dari teori ini diperolehnya “kepastian hukum,” tetapi penerapannya banyak kelemahan-kelemahan, karena tidak dapat menangkap “makna” dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Secara ekstrem, logika hukum legal poisitivistik tidak mampu secara meyakinkan menjelaskan sejumlah peristiwa sosial kemanusiaan.

Satjipto Rahardjo, pemikir dan penggerak aliran hukum kritis di Indonesia, memunculkan ide hukum progresif lawan dari hukum status quo. Idenya muncul sebagai reaksi atas tidak responsifnya hukum terhadap perubahan yang terjadi secara mendasar di Indonesia. Hukum dijalankan secara dogmatis (legal positivistis) dan tidak peka terhadap proses transisi yang sedang dialami di Indonesia. Ciri-ciri hukum progresif adalah, kreatif, responsive, protagaonis, berwatak pembebasan dan berorientasi kepada Indonesia dan kebutuhan Indonesia. Bila hukum progresif dijalankan, maka pelaku hukum dapat mendahulukan hati nurani dan keadilan di atas undang-undang.

Tentang Hukum Progresif sesungguhnya bukan hal yang baru, bila mau menengok kembali teori hukum dan akar filsafatnya (hukum sebagai produk masyarakat) yang berkembang di jagad raya ini, Eugen Erlich adalah pemikir sekaligus pencetus sociological yurisprudence (ilmu hukum sosiologis), kemudian aliran sejarah, freirechtleere (ajaran hukum bebas), Nonet dan Selznick dalam bukunya Law and Society Toward Responsif law, dan dalam perkembangan terakhir, adalah Mangaberia Unger yang lebih teknis mengembangkan pemikiran kritis tentang Hukum dalam bukunya the critical legal studies movement.

Dalam perbincangan ilmu hukum, maka tak ayal dinamika hukum  tidak terlepas dari pergumulan pemikiran pada  aliran hukum normatif dan hukum sosiologis (legal positivistic di satu sisi dan  law sosiologi). Ilmu hukum normatif sebagaimana di urai di atas, hanya melihat hukum ke dalam dan menyibukkan diri dengan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Oleh karena itu tidak lah memadai bila ilmu hukum hanya berkubang dalam paradigm normative dogmatis saja, karena tidak akan dapat menangkap hakekat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat. Kalau menurut Bernard L.Tanya pemikir hukum, Ilmu hukum termasuk kedalam bagian ilmu humaniora. Maka ilmu hukum mempelajari hukum dengan manusia sebagai subjeknya.Ilmu hukum non dogmatik (sosiologis) menggunakan perangkat metode penelitian baru, tidak alergi meminjam metode  yang dikembangkan ilmu lain.Ilmu hukum non dogmatis tidak berhenti menyibukkan diri dengan bangunan logis rasional dari sebuah peraturan. Tujuan yang ingin dicapai dari ilmu hukum sosiologis untuk mencari dan mencapai kebenaran sebagai institusi kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yanag demikian jelas tidak diperoleh jika mendasarkan pada peraturan hukum semata. Karena hukum dihadirkan untuk manusia.

Philip Nonet dan Phillip Selznict, masyarakat di Amerika merasakan bahwa hukum gagal memangani berbagai problem sosial, diantara tahun 1960 dan 1970 banyak terjadi kejahatan, pelanggaran hak-hak sipil, kerusuhan massa, kemiskinan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kondisi ini memunculkan kritik terhadap hukum dari mereka yang menamakan critical legal studies movement yang dipelopori Mangaberia Unger, dan di Indonesia walaupun tidak sekritis Mangaberia Unger maupun Nonet dan Selznict, Satjipto Rahardjo adalah pelopor hukum progresif di Indonesia yang melihat realitas hukum positif (dogmatis) tidak mampu menjawab berbagai persoalan sosial kemanusiaan di Indonesia, sehingga terjadi reformasi.

Hukum Progresif bertitik tolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifatg kepedulian terhadap semama. Oleh karena itu hukum progresif mempunyai asumsi dasar, hakekat hukum adalah manusia. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Hukum progresif tidak melihat hukum dari kacamata hukum (kacamata kuda) tetapi melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapai serta akibat-akaibat yang timbul dari bekerjanya hukum.

Slamet Har.

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN KRIMINOLOGI

  1. Latar Belakang

Pembelajaran  sebagai  suatu proses pencerdasan di perguruan tinggi, pada dasarnya bukan hal yang mudah,  Pembelajaran membutuhkan perencanaan dan pencapaian dari proses yang telah dilaksanakan. Interaksi Dosen dengan Mahasiswa menjadi penting dalam proses belajar, karena dosen menyampaikan pengajaran apabila keduanya tidak memiliki motivasi, maka apa yang diajarkan menjadi kurang berarti. Dosen harus dapat menumbuhkan rangsangan dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga pada pembelajaran yang  dilaksanakan, ada penyerapan dari yang diberikan dengan melakukan pengingatan, menyusun konsep, megabstraksikan dan menguasai sehingga dalam evaluasi dapat tercapai hasil pembelajaran.

Mengamati fenomena pembelajaran yang dilaksanakan pada mahasiswa STIH Muhammadiyah Kotabumi, perlu dipertanyakan bersama secara kritis tentang  tujuan yang  akan dan telah dicapai dari pembelajaran,  baik kepada tenaga pengajar maupun kepada mahasiswa. Secara objektif, pembelajaran yang dilaksanakan belum  berpengaruh  signifikan terhadap hasil pembelajaran  itu sendiri.[1] Fenomena umum dari member  pembelajaran, dapat di amati biasanya tenaga pengajar memberikan pelajaran atau kuliah seperti pada umumnya, bagaimana cara mengajar dan mengatasi permasalahan yang berkembang di dalam ruang belajar, membuat proses belajar sebagai suatu yang diinginkan secara intusional dan emosional  menjadi tidak penting.

Pada umumnya mahasiswa yang kuliah di STIH Muhammadiyah Kotabumi  dalam pengamatan pada saat memberikan kuliah Kriminologi maupun Filsafat Hukum kepada mahasiswa semester 6 siang, saat ini atau sebelumnya,  jumlah mahasiswa aktif  relatife  tidak banyak, dengan atmosfir belajar yang pasif, tidak anatusias, termasuk malas dan kesulitan mencatat materi yang disampaikan dosen.  Apa yang teramati,  terjadi juga oleh dosen-dosenr lain, hanya saja bagi dosen pengajar lain kurang  memusingkan sehingga semuanya tanpa perhatian dan pengamatan.

Fenomena tersebut bisa jadi sebuah realitas. Mahasiswa kotabumi, mahasiswa kelas dua[2] yang maindset nya daripada menganggur dirumah. Dengan fenomena demikian hasil evaluasi belajar sudah dapat diperkiraan buruk. Kalaupun baik sebenarnya lebih banyak pengkatrolan dalam upaya membantu mahasiswa.  Dengan realitas seperti itu maka, lembaga pendidikan tinggi (STIH M) sendiri yang akan menanggung kerugian, karena lulusannya tidak dapat bersaing di masyarakat.

Dosen dapat berpendapat bahwa hasil pembelajaran buruk karena mahasiswa yang tidak mempersiapkan secara baik, memang ada benarnya. Tetapi dalam buku pengajaran yang saya baca dinyatakan bahwa, 95% dari kejadian tersebut disebabkan oleh dosen itu sendiri. Dosen tidak memikirkan cara kerja yang akan dipergunakan. Memberi kuliah tanpa sebelumnya berpikir secara sistematis tentang cara-cara yang dapat digunakan. Selebihnya dosen dalam melaksanakan tugasnya tanpa mengetahui apa yang terjadi pada diri  mahsiswa. Karena itu ia tidak dapat mengarahkan proses-proses yang terjadi.[3]

Melakukan perbaikan dalam pembelajaran oleh setiap dosen merupakan keniscayaan sebagai upaya mempercepat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa, untuk itu diperlukan kemampuan untuk mendayagunakan dan mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menjamin tercapainya pembelajaran yang diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas saya mengajukan usulan rancangan Pembelajaran kriminologi dengan judul Pendekatan Konstruktif dalam Pembelajaran Kriminologi. Dasar pemikiran penggunaan Konstruktivisme dalam inovasi ini, konstruktivisme memiliki karakter kritis. Perspektif kritis tujuan pembelajaran ini ditampakkan melalui gerakan membangun  pemahaman, bukan mendapat pengetahuan yang banyak tetapi tidak paham. Dalam ilmu sosial pemikirin kritis dikembangkan oleh Peter Berger dalam teori konstruksi social, dan  ilmu hukum gerakan pemikirian kritis dikemukakan oleh Roberto Mangabeira Unger.[4] Keduanya menganut perspektif teori konflik yang berkembang terakhir. Dalam kriminologi dikenal Kriminologi Baru atau kriminologi kritis.

  1. Dasar Pendekatan Konstruktivisme[5]

Konstruktivisme bukanlah satu konsep baru.   Berasal dari bidang filsafat, dan digunakan dalam bidang sosiologi, antropologi dan juga dalam bidang psikologi kognitif dan pendidikan, filsuf konstruktivis yang pertama, yaitu Giambatista Vico, mengatakan “one only knowsi something if one can explain it”. Immanuel Kant menyokong pendapat ini dan mengatakan bahawa manusia bukanlah penerima pengetahuan yang pasif. Misalnya, Mahasiswa menerima pengetahuan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya yang ia peroleh dan dirangkaikannya, dan melakukan interpretasi terhadap pengetahuan tersebut, sehingga ia menguasai pengetahuan itu.

Perspektif konstruktivisme ini dikembangkan antara lain oleh  Piaget, Vygotsky. Seperti   Pembelajaran bermakna (meaningful learning), dan  John Dewey (1966), yang dikenal dengan “belajar dengan membuat” (learning by doing), Keduanya membantu pelajar ataupun mahasiswa untuk  berfikir memahami dan menguasai masalah yang diuraikan dosen pengajar. Dikaitkan dengan perspektif konstruktivisme dimaksudkan  agar lebih menjurus kepada pengembangan dinamisasi  proses berfikir, menyelesaikan masalah

dan membangun kemauan untuk belajar.

  1. Tujuan dan Sasaran

pada dasarnya  tujuan pembelajaran yang ingin diwujudkan dengan pendekatan konstruktivistik ini antara lain:

  1. Mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk menguasai materi secara kritis, dapat mengidentifikasi hal-hal yang tidak diketahui, yang keliru dari bahasan dosen pengajar dengan  mengajukan pertanyaan ataupun menemukan dan mencari sendiri jawabannya.
  2. Membantu mahasiswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap.
  3. Memotivasi belajar mahasiswa dan mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.

Adapun yang  menjadi sasarannya adalah :

  1. Mahasiswa terangsang aktif dalam  setiap perkuliahan dan mampu mengembangkan analisisnya menjelaskan fenomena dan realita sebagai konsep kejahatan yang terjadi dengan  teori dan aliran pemikiran dalam kriminologi yang di pelajari,
  2. Adanya proses orientasi, eksplorasi, interpretasi dan abstraksi dalam pembelajaran, sehingga dalam mengikuti pembelajaran mata kuliah yang lain. Mahasiswa mempunyai kecakapan analisis, aktif dengan  pemikiran yang mandiri merespon mata kuliah yang disajikan dosen.
  3. Mahasiswa memiliki karakter berpikir kritis terhadap berbagai hal yang menjadi persoalan dan permasalahan masyarakat umumnya.
PRINSIP DAN TUJUAN PEMBELAJARAN  KONSTRUKTIF
orientasi
untuk menjadi konstruktif, seseorang harus antusias, selalu berpikir dan membuat, dan mandiri.
Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama.
Mahasiswa didorong untuk menemukan / mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan
Keterlibatan mahasiswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran
eksplorasi
interpretasi
abstraksi

  1. Mekanisme Penjaminan Mutu

Mata Kuliah Kriminologi meskipun dengan bobot 2 SKS memiliki peran penting bagi perkembangan dan kemajuan hukum. Terutama Hukum Pidana. Harus diakui Hukum yang memiliki sifat legal positifistik dalam perkembangan kejahatan tidak mampu menjawab mengapa kejahatan dilakukan, bagaimana kejahatan dilakukan, bagaimana menanggulangi kejahatan.

Ilmu Kriminologi yang baru berkembang setelah abad 19 di benua Eropa dan Amerika pada dasarnya dipengaruhi juga pemikiiran legal positifistik, yang menganggap bahwa hukum harus dipisahkan dengan persoalan-persoalan, moral, politik, social dan lain sebagainya, sehingga banyak teori dan aliran yang berusaha untuk menjawab berbagai masalah antara hukum (pidana) dan kriminologi sebagai ilmu tentang Kejahatan sebagai alat bantu untuk mengungkap kejahatan di peradilan.

Mata Kuliah Kriminologi juga dalam realitas mahasiswa STIH Muhammadiyah Kotabumi menjadi pilihan dalam mengembangkan konsentrasi keilmuannya dalam bentuk meneliti dan menyusun skripsi, oleh karena itu pengembangan metode pembelajarannya penting untuk ditingkatkan.

Bahwa mata kuliah Kriminologi dengan pengembangan metode pembelajaran Pendekatan Konstruktivisme memberikan penjaminan mutu terhadap proses dan hasil pembelajaran yang diharapkan oleh tujuan pembelajaran itu sendiri. Dapat dijelaskan ddalam gambar berikut berikut :

Mahasiswa  logik dan emos melakukan koseptualisasi serta umpan balik
1.Dosen , 

2.SAP

3.Buku Ajar

4.Literatur up date

5.penyampaian

Output mhs kritis, pede dan optimal.
PROSES PEMBELAJARAN
Mahasiswa  berperspektif dan membuat.
Antar mhs Sharing , diskusi , prediksi dan meng kreasi
Atmosfir akademik 

Sharing mhs dengan dosen dan perpustakaan

  1. Pelaksanaan dan Hasil Pembelajaran Kriminologi

Pendekatan konstruktivisme  dalam pembelajaran Kriminologi mempunyai relevansi serta fokus perhatian yang searah. Kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan memiliki dimensi dan ruang yang kompleks tetapi kontekstual dengan fenomena dan realitas kejahatan itu sendiri yang terjadi di masyarakat. Sumber-sumber pengetahuan kriminiogi yang umumnya berasal dari penelitian-penelitian memudahkan untuk dilakukan generalisasi dan konseptualisasi fenomena dan realitas kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Kriminoloigi sebagai ilmu kejahatan yang memiliki hubungan dengan hukum pidana terdapat dalam laboratorium kejahatan yang namanya masyarakat. Untuk itu interelasi pembelajaran di kelas maupun di masyarakat menguatkan pemahaman terhadap suatu kejahatan dan penanggulangan kehahatan.

Oleh sebab itu pembelajaran kriminologi menemukan dinamika dan pencerahannya pada mahasiswa ketika pendekatan Konstruktivisme menjadi metode dosen menyampaikan pokok pembelajaran.

Berdasarkan pembelajaran kriminologi yang di laksanakan dalam Semester Genap ini, dapat dikemukakan sebagai berikut :

  1. Pelaksanaan Pembelajaran

a). pelaksanaan pembelajaran di awali dengan menyiapkan pengelolaan kelas dengan cara :

–          Melakukan ekspektasi kepada mahasiswa dan antar mahasiswa, pengenalan diri dan kelompok.

Dalam Pembelajaran dengan pendekatan Konstruktivistik, ekspektasi ini penting agar terjadi pemahaman personal antara mahasiswa dan dengan dosennya. Pemahaman personal terkait dengan pengalaman-pengalamannya, kebiasan-kebiasaannya kelebihan dan kekurangannya sehingga ketika dalam proses pembelajaran yang akan dilaksakan berjalan dengan lancer teradap dinamika yang akan timbul terkait dengan cara pandang ataupun berpikir diantara mahasiswa. Sehingga yang terjadi adalah saling melengkapi dan konstruktif.

–          Pembentukan kelompok diskusi,

Pembentukan kelompok diskusi sejak awal perkuliahan dengan maksud mahasiswa dapat memulai kerjasama membangun suasana akademik yang mendorong terciptanya semangat dan antusiasme belajar dan saling berinteraksi terhadap pembelajaran yang diikutinya.

–          Mengadakan konsensus dengan mahasiswa untuk menyepakati hal-hal yang perlu untuk membangun harmonisasi pembelajaran, kesantunan dan saling menghormati, diantaranya, soal pelaksanaan hak dan kewajiban (tatatertib masuk ruang kelas, tata cara penyusunan tugas, kehadiran dan performance).

–          Review silabus yang akan diberikan yang akan di pelajari dan diikuti selama waktu satu semester

b). dalam aktivitas pembelajaran metode konstruktif dikembangkan dalam pertemuan tatap muka sebagai berikut :

– materi dan struktur pembelajaran

– Penguasaan Materi belajar

– komunikasi sosial dan body language

c). Dalam aktivitas pembelajaran dilakukan monitoring dan evaluasi selama pembelajaran terkait dengan:

a. daya serap mahasiswa terhadap penerimaan materi tiap pertemuan

b.  aktivitas kehadiran dan aktivitas diskusi dalam pembelajaran setiap pertemuan.

c. akktivitas kerjasama dan kemandirian mahasiswa dan atar mahasiswa dalam penugasan dan pengembangan wawasan.

c. Rewarad dan punishment dalam evaluasi belajar akhir.seperti member perhatian dengan mensanjung mahasiswa yang aktiv kuliah tanpa absen, sebaliknya menasehati mahasiswa yang tingkat kehadirannya sangat buruk atau jarang hadir. Memuji mahasiswa yang membuat tugasnya baik atau kepada mahasiswa yang dalam diskusi pemikirannya cerdas. Sebaliknya juga menasehati mahasiswa yanga kurang kreatif dan tertutup agar dapat berkembang juga.

2. hasil pembelajaran

Metode pembelajaran konstruktif sebagaimana konsepnya tidak dimaksudkan mahasiswa hanya mengetahui terhadap objek pengetahuan tetapi lebih diutamakan pada pemahamannya terhadap objek pengetahuan, oleh karena itu banyak aspek yang terkait yang digunakan untuk mendorong agar mahasiswa mengerti dan paham.

Oleh karena itu memberikan pengertian dan pemahaman suatu metode yang berupaya mengubah perilaku dosen dan mahasiswa dari proses pembelajaran yang linier menjadi dinamis. Oleh karena itu apabila diukur dari hasil bagaimana perolehan nilai mahasiswa, sebagaimana yang menjadi pedoman penilaian dosen selama ini di STIH M belum cukup untuk menggambarkan telah terjadi perubahan perilaku yang signifikan. Tetapi selain penilaian perkuliahan dalam bentuk mid, tugas dan ujian semester, pembelajaran konstruktif mengembangkan pada beberapa indikator lain yang sangat menunjang bagi tercapainya hasil pembelajaran yang dinamis dan optimal adalah tingkat keaktivan mahasiswa dalam mengikuti pertemuan-pertemuan perkuliahan, tingkat keaktifan mahasiswa di dalam diskusi-diskusi yang dikembangkan dan yang berkembang di kelas dan tingkat keaktivan mahasiswa di dalam mengembangkan wawasan melalui penelusuraqn literature dan pemanfaaatan perpustakaan sebagai

Berdasarkan pengembangan metode yang telah dilaksanakan dalam pembelajaran Kriminologi dengan pendekatan  konstruktivistik dapat dikemukakan sebagai berikut :

  1. Keaktivan mengikuti jadwal pertemuan perkuliahan kriminologi

Mahasiswa secara umum  berdasarkan aktifitas kehadiran aktif mengikuti pembelajaran kriminologi.

Tidak dapat dipungkiri pencitraan pembelajaran pada perguruan tinggi selama ini kurang baik, karena dalam realitanya mengabaikan aspek keaktivan mahasiswa sebagai anak didik yanga menuntut ilmu. Kalau Mid semester, mahasiswa yangt tidak perah kuliah hadir demikian juga pada saat semester semua mahasiswsa yang penting lunas SPP hadir untuk mengikuti evaluasi belajar. Hal ini merupakan masalah klasik pada perguruan tinggi swasta, antara  yang tidak aktif kuliah dengan yang aktif kuliah lebih pada saat semesteran sama, dengan kata lain sebagian tidak aktif. Dalam pembelajaran kontruktif kehadiran merupakan salah satu variable penting yang harus diukur pada evaluasi pembelajaran. Oleh karena itu dapat dikemukakan tingkat keaktivan mahasiswa sebagai berikut :

Tabel 1 : Aktivitas Mahasiswa mengikuti pemnbelajaran Kriminologi

NO AKTIVITAS  MAHASISWA AKTIVITAS JUMLAH PERTEMUAN YANG DIIKUTI
<8 9 10 11 12 13 14  

Total mahasiswa

67 Orang

1 Aktif 14 hr 20
2 Aktif 13 hari 12
3 Aktf  12 harai 7
4 Aktif 11 hari 7
5 Aktif 10 hari 4
6 Aktif  9 hari 1
7 Aktif < 8 hari 16
TOTAL 16 1 4 7 7 12 20
  1. Keaktivan mahasiswa tidak semata berdasarkan absensi melainkan mahasiswa juga tidak lesu dan monoton. Muncul sikap dan pandangan mahasiswa sesuai kemampuannya   mengemukakan masalah yang dipahami olehnya terkait pokok bahasan yanag disampaikan sesuai dengan sudut pandangannya..  Mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya berinteraksi. Berdiskusi, memberikan pendapat satu sama lain mengenai kesamaan dan perbedaan pengertian yang dipahami. Indikator keberhasilan dari pembelajaran Kriminologi dari aspek dinamika belajar dalam kelas secara kuantitatif dapat dilihat pada table evaluasi hasil diskusi baik yang dikembangkan dalam pembelajaran maupun yang secara formal diadakan dalam bentuk seminar kelas (terlampir).

Tabel 2 Hasil evaluasi Aktivitas Mahasiswa Dalam Diskusi.

N0 Mahasiswa Hasil Evaluasi Diskusi Keterangan
1 8  Mahasiswa A Jumlah Mahasiswa 

67 orang.

2 40 Mahasiswa B hari
3 19 Mahasiswa Tidak aktif
  1. Analisis kritis mahasiswa meningkat. Kemampuan analisis pandangan mahasiswa dan kearifan dalam memahami dan menyikapi persoalan di kelas semakin baik. Indikator meningkatnya wawasan mahasiswa selain dari proses belajar yang diikuti, disebabkan mahasiswa aktif mengunjuungi perpustakaan, mencari referensi mata kuliah Kriminologi. Dibandingkan Semester sebelumnya, mahasiswa semester 6 terutama yang mengikuti pembelajaran Kriminologi aktivitasnya keperpustakaan sebagaimana tergambar dalam table di ini :

Tabel 3 Aktivitas Mahasiswa Keperpustakaan.

N0 Mahasiswa Jumlah aktivitas di perpustakaan Keterangan
1 1 Mahasiswa 22 hari Jumlah Mahasiswa 

67 orang

Ke perpustakaan 51 orang dan

16 tidak samasekali (ada yang cuti dll).

2 2 Mahasiswa 20 hari
2 2 Mahasiswa 19 hari
3 2 mahasiswa 18 hari
4 4 mahasiswa 17 hari
5 3 mahasiswa 16 hari
6 7 mahasiswa 15 hari
7 2 mahasiswa 14 hari
8 1 mahasiswa 13 hari
9 3 mahasiswa 12 hari
10 4 mahasiswa 11 hari
11 8 mahasiswa 10 hari
12 12 mahasiswa < 10 hari
13 16 mahasiswa
  1. Indikator keberhasilan lain adalah meningkatnya hail evaluasi belajar akhir, dibandingkan dengan hasil evaluasi belajar kriminologi pada semester sebelumnya yang belum menggunakan metode konstruktivistik sebagai berikut:

Tabel 4 : Perbandingan hasil belajar tahun 2008 dengan tahun 2009

NO HASIL EVALUASI NILAI % NO HASIL EVALUASI NILAI %
SEMESTER GENAP 2008 SEMESTER GENAP 2009
1 12 MHS A 5.76 1 10 MHS A 10.55
2 20 MHS B 9,6 2 44 MHS B 16.0
3 14 MHS C 6.72 3 2 MHS C 3.0
4 2 BL 0,96 4 3 MHS E 5.0
5 5 7 MHS cuti
6 48 MHS 67 MHS

.

  1. Materi pembelajaran kriminologi yang disampaikan sebagaimana Bahan ajar tgerlampir.
  1. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari Hasil Pembelajaran yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Metode Pembelajaran Kriminologi dengan Pendekatan Konstruktivisme masih dalam penerapannya sangat tergantung oleh dosen yang mengembangkan.dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran disamping system pendukungnya.
  2. Metode Pembelajaran Konstruktivisme dalam pembelajaran Kriminologi lebih mudah diterapkan dalam arti membutuhkan konsistensi dan keseriusan dosen dalam mengembangkannya.

Saran terhadap pembelajaran kriminologi adalah, Agar Institusi mengembangkan system penilaian pada aspek diskusi, kehadiran mahasiswa dan aktivitas di perpustakaan. Menjaga konsistensi dan peningkatan yang berarti mutu pembelajaran Kriminologi, sebaiknya penetapan dosen pengasuh mata kuliah oleh lembaga memperhatikan konsistensi dan profesionalitas dosen yang bersangkutan.

Daftar pustaka

  1. Ad.Rooijakkers,1993,Mengajar dengan Sukses, Grasindo,Jakiarta..
  1. Baca Peter L Berger 1990., Social Constuction of Rality: A Treaties  in Sosiology Knowledge Newyork Penguin Book.
  1. Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement,Harvad University Press,1986. Telah diterjemahkan dlam bahasa Indonesia oleh Ifdhal Kasim 1999. Dengan judul gerakan Studi Hukum Kritis. Diterbitkan oleh Elsam.
  1. Baharuddin,ESB Nurwahyuni,Teori Belajar dan Pembelajaran Yogyakarta,Arusmedia,hlm.115-139.

LAPORAN

PEMBELAJARAN KRIMINOLOGI

PENDEKATAN KONSTRUKTIF

Oleh

Slamet Haryadi,S.H.,M.Hum:

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH

KOTABUMI LAMPUNG

TAHUN 2009

Membahas  Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari  kejahatan dengan berbagai    aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam kriminologi, cara pendekatan mempelajari kejahatan, dan mengenal teori tentang sebab-sebab kejahatan dari segi, fisik, psikis dan sosiokultural.

1. Judul                                                : Pendekatan Konstruktif dalam Pembelajaran

Kriminologi

2. Mata Kuliah SKS                            : .Kriminologi 2 SKS

3. Tujuan Umum Pembelajaran           :

Memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar mampu berfikir kritris, bersikap, bertindak arif serta   bertanggung jawab secara ilmiah menguasai  dasar-dasar ilmu kriminologi, melalui kajian pustaka, telaah kasus kehidupan, diskusi, dialog serta menganalisa secara mendalam hal yang berkaitan dengan kriminologi dengan berbagai fenomena dan realitanya.

4. Tujuan Pembelajaran Khusus     :

DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT

a. Nama                    : Slamet Haryadi,SH.,M.Hum.

b. Tempat Tgl.Lahir : Metro, 23 Juni 1962.

c. Agama                  : Islam

d. Pekerjaan              : Staf Pengajar STIH Muhammadiyah Kotabumi

e. Jenj. J.Akademik  : Lektor Kepala

f. Alamat  Rumah     : Jl,Pangeran Jinul Gg.Arimbi No.50 tel[,0724-22143

Rejosari Kotabumi.

g. Pendidikan           : 1. SD 6 tahun  Lulus tahun 1974 di Metro Lampung Tengah.

2. STN 3 tahun  lulus tahun 1977 di Metro Lampung Tengah.

3. SMA Carya Darma lulus tahun 1981 di Bandar Lampung

4. Fakultas Hukum Unila lulus tahun 1986 di Bd.Lampung.

5. Magister Ilmu Hukum Undip Lulus tahun 1999 Semarang.

i. Tri Darma             : 1. Pelembagaan Peran Perempuan dalam Sistem Hukum

Adat Patrilineal, 2005.

2. Studi Kebijakan, Pembentukan Kota Kotabumi dan Pemekaran

Kabupaten Lampung Utara.

3. Studi Penyusunan Pembentukan Produk Hukum bagi Peningkatan

Pelayanan,2007.

Slamet Haryadi,S.H.,M.Hum.


[1] Yang dimaksud pengaruh tidak signifikan bukan dalam tataran formalistik semata dari evaluasi pembelajaran yang dicirikan dengan mendapat nilai B atau A. Melainkan adanya sebuah tranformasi perubahan pemikiran dan perilaku mahasiswa yang tidak ilmiah menjadi llebih ilmiah sebagai konsekuensi proses pembelajaran.

 

[2] Isitlah penulis untuk membedakan mahasiswa yang serius dan yang tidak serius menuntut ilmu pengetahuan,

[3] Ad.Rooijakkers,1993,Mengajar dengan Sukses, Grasindo,Jakiarta.hlm.x.

[4] Baca Peter L Berger, Social Constuction of Rality: A Treaties  in Sosiology Knowledge Newyork Penguin Book. 1990. Oleh LP3ES telah diterjahkan pula. dan Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement,Harvad University Press,1986. Telah diterjemahkan dlam bahasa Indonesia oleh Ifdhal Kasim 1999. Dengan judul gerakan Studi Hukum Kritis. Diterbitkan oleh Elsam.

[5] Bagaeuddin,ESB Nurwahyuni,Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta,Arusmedia,hlm.115-139.

Leave a comment

Filed under Artikel

EKSISTENSI PENGHITUNGAN ULANG SURAT SUARA TIDAK SAH PILKADA LAMPUNG UTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam konsep otonomi daerah telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi, demikian dibentuknya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pilkada diharapkan  independen, jujur dan adil, dapat tercermin di dalam melaksanakan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam praktek pemilihan bupati dan wakil bupati, pemilihan gubernur dan wakil gubernur di banyak daerah di Indonesia, menyimpan banyak  masalah, dan realitasnya tidak sesederhana seperti dalam konsep otonomi maupun konsep pilkada langsung sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004. Persoalan yang timbul, antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan KPU yang tidak independen, berpihak. Sosialisasi oleh KPU sangat kurang, Calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah menggunakan segala cara untuk memperoleh kemenangan, dan banyak lagi lainnya.

Fenomena pilkada sebagai suatu persoalan, terjadi di Kabupaten Lampung Utara yang pada tanggal 3 September 2008 melaksanakan pemilihan umum, dan di ikuti oleh 6 pasangan calon dan dimenangkan oleh Pasangan Nomor 6 melalui proses hukum yang panjang. Hingga sekarang ini masih menyimpan masalah terkait dengan status KPUD yang menjadi Tersangka tetapi belum diajukan kepersidangan.

Pemilihan Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Lampung Utara, Semula di ikuti oleh 7 (tujuh) pasangan calon. Mendekati pelaksanaan kampanye peserta nomor urut 7 calon Bupati Hj.Zubaidah Hambali sakit dan meninggal dunia[1]. Meninggalnya Calon Bupati Nomor Urut 7 menimbulkan masalah pada kertas suara karena dalam kertas suara yang sudah di cetak peserta berjumlah 7 pasangan. Oleh karena itu Pleno KPUD yang dihadiri oleh Panitia Pengawas Pilkada, Partai pengusung, dan muspida menyepakati terhadap kertas suara diberi tanda silang dan dinyatakan batal bilamana ada yang mencoblos gambar pasangan nomor urut tujuh.

Pilkada yang dilaksanakan pada tanggal 3 September 2008 pada dasarnya telah berjalan lancar tertib dan aman, hal tersebut diketahui dari seluruh Tempat Pemungutan  Suara (TPS) yang dilaksanakan  penghitungan suara oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), disaksikan oleh masyarakat dan saksi-saksi dari pasangan calon yang hadir tidak ada yang keberatan terhadap penghitungan surat suara. Surat Suara yang sah dihitung dan Surat suara yang tidak sah dinyatakan batal.

Pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan surat suara di Tempat Pemungutan Suara tanggal 3 September telah selesai semua. Oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hasil penghitungan surat suara sah dan tidak sah dimasukkan dalam kotak yang berbeda dan disegel selanjutnya di antarkan ke Panitia Pemilihan Kecamatan untuk dilakukan Rekapitulasi.

Hasil Pleno Panitia Pemilihan Kecamatan disemua kecamatan tela berakhir (selesai) pada tanggal 6 September bila dijumlahkan semua hasil rekapitulasi PPK maka, pasangan yang unggul adalah pasangan Calon Nomor Urut 2, sebagaimana pula hasil pemantauan dan penghitungan oleh Desk Pilkada Pemda yang hasil perhitungan sementara disemua kecamatan yang unggul adalah pasangan calon nomor urut 2.  KPUD tanggal 6 September 2008 itu pula melaksanakan rapat pleno, menyepakati untuk melakukan penghitungan ulang terhadap hasil rekapitulasi PPK mengenai surat suara tidak sah, dengan alasan bahwa terjadi ketidak konsistenan masyarakat di dalam pencoblosan  surat suara sah dan tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) huruf e UU Nomor 32  Tahun 2004 berdasarkan surat pengaduan salah satu partai pengusung Calon nomor urut 6.

Berdasarkan keputusan rapat pleno KPUD tanggal 6 september tersebut,  tanggal 10 dan 11 September KPUD menghitung Ulang surat suara tidak sah untuk disahkan walaupun mendapat penolakan dari Panitia Pemilihan Kecamatan Panitia Pengawas Pilkada dan Pasangan Calon umumnya, tetapi KPUD Lampung Utara tetap melaksanakan penghitungan ulang yang dilakukan terhadap 7 kecamatan[2]. KPUD Kabupaten Lampung Utara melaksanakan penghitungan ulang dengan cara mengundang Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk membuka kotak suara dan menghitung ulang surat suara tidak sah di tempat yang KPU telah sediakan.

Hasil Perhitungan ulang surat suara tidak sah selanjutnya oleh KPUD ditambahkan dengan hasil surat suara yang sah. Pada tanggal 14 September KPUD melaksanakan  pleno  rekapitulasi dan penetapan pemenang Pilkada. Karena KPUD melalui penghitungan ulang, telah menjumlahkan surat suara yang tadinya tidak sah kemudian disahkan melalui penghitungan ulang telah ditambahkan dengan surat suara yang sah, hasil penetapan PPK sekabupaten Lampung Utara, maka hasil penetapan, dpastikan merugikan pasangan calon  nomor 2, karena memang tujuan KPUD bersama calon pasangan lain untuk berbuat seperti itu.

Penghitungan ulang oleh KPUD dilaporkan oleh Pasangan Calon nomor 2 kepada Panitia Pengawas Pilkada dan Kepolisian Resort Lampung Utara, oleh karenanya hingga kini kelima anggota KPUD bersatus sebagai Tersangka[3], dan terhadap penetapan KPUD yang memenangkan Pasangan Calon nomor 6, diajukan gugatan keberatan kepengadilan oleh Pasangan Calon nomor urut 2.

1.2. Permasalahan

Fokus permasalahan dalam penelitian ini mengenai masalah perhitungan ulang surat suara yang tidak sah yang dilaksanakan pada tanggal 10 dan 11 September 2008 di Gedung Kopti atau Gudang KPU Sribasuki Kotabumi, bukan di tempat dimana terjadi permasalahan berhubungan dengan pencoblosan yang dilakukan oleh pemilih di tempat pemungutan suara, atau permasalahan yang terjadi ditingkat PPK karena terjadi perbedaan perhitungan dari desa dan penghitungan oleh PPK di Kecamatan.

Penghitungan Ulang surat suara tidak sah yang dilaksanakan dengan mendasarkan pada Pasal 103 ayat (1) e, UU nomor 32 Tahun 2004, telah menimbulkan permasalahan yang mendasar bagi pelaksanaan pilkada langsung yang jujur adil dan demokratis. Oleh karena itu, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah eksistensi Pasal 103 ayat (1) e dalam penerapan in konkreto peristiwa hukum pelaksanaan penghitungan ulang oleh KPUD ?
  2. Bagaimanakah relasinya Pasal 103 ayat (1) e UU nomor 32 Tahun 2004  dengan bekerjanya hukum oleh lembaga peradilan. ?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep  Dasar Pilkada Langsung

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang merupakan penjabaran dari Undang Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait dengan pelaksanaan pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung.

Seiring terbitnya peraturan pemerintah tersebut di atas[4], bulan Juni 2005 di beberapa propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung[5]. Pilkada langsung oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadi terapi bagi lahirnya suatu pemerintahan yang lebih baik.

Pilkada langsung sebagaimana diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari konsep otonomi daerah sebagai pilar demokrasi. Para ahli politik menyebut demokrasi sebagai pemerintahan yang dikuasai oleh rakyat. Atau dalam adagium yang populer, biasa disebut sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Bagaimanapun pilkada secara langsung merupakan proses pemilihan dengam model demokratis, yang lebih unggul ketimbang model oligarkhis dalam DPRD atau model birokratis yang diterapkan di era Orde Baru. Mau tidak mau model demokratis ini akan menyingkirkan model pemilihan oligarkis dan peran DPRD serta model birokratis dan peran secara kelembagaan TNI maupun birokrasi.

Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model demokratis secara langsung[6]. Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih partisipatif, dengan melibatkan partisipasi masyarakat konstituen yang lebih luas, bukan sekadar melibatkan segelintir orang secara oligarkhis dalam DPRD. Partisipasi jelas akan membuka voice, akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pilkada. Dengan bahasa yang lebih utopis, partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan. Kedua, proses partisipatif memungkinkan terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen. Kontrak sosial adalah sebuah proses yang mempertemukan antara visi kandidat dan mandat dari konstituen melalui mediasi partai politik. Kontrak sosial memang bukanlah tempat untuk mengobral janji, melainkan sebagai arena pembelajaran untuk memupuh akuntabilitas pemerintah lokal kepada masyarakat. Ketiga, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat konstituen untuk menentukan calon pemimpin mereka yang lebih hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat. Dengan demikian, pilkada secara demokratis-langsung ini akan memperkuat persetujuan (legitimasi), sehingga ke depan pemimpin baru itu mampu membuahkan keputusan-keputusan yang lebih fundamental dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas[7].

Pilkada langsung, pada awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran  berdemokrasi. Ini menjadi hakikat yang sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pelayannya (kepala daerah), yang tentu diharapkan dapat menjadi  pelayan masyarakat yang baik, bukan menjadi tukang perintah seperti tradisi pemerintahan sentralistik.

Pilkada langsung di daerah-daerah di Indonesia dimaksudkan untuk :

  1. mendapatkan pemimpin di daerah yang mempunyai akuntabilitas publik di tingkat lokal karena dengan pilkada langsung lembaga partai politik di tingkat nasional tidak lagi bisa menunjuk atau mengirimkan calonnya ke daerah.
  2. agar calon-calon pemimpin di daerah tidak hanya dipilih oleh sebagian elit partai politik tetapi oleh rakyat di daerah secara langsung. Kalau sebelumnya pemimpin di daerah hanya dipilih oleh segelintir elit politik lewat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka dengan Pilkada langsung diharapkan partisipasi masyarakat di grass root level semakin bertambah dalam menentukan pejabat publik.
  3. pilkada dimaksudakan untuk mengembangkan kepemimpinan dari bawah atau bottom up. Pilkada diharapkan bisa mengembalikan hak rakyat untuk menentukan langsung pemimpinnya.
  1. dengan pilkada diharapkan rakyat lebih banyak berpartisifasi dalam urusan politik di tingkat local sehingga proses demokratisasi semakin tumbuh di masyarakat. Dengan Pilkada secara tidak langsung rakyat dididik untuk berpolitik yang lebih bertanggung jawab. Stabilitas politik di daerah diharapkan tercapai dan politik uang bisa dihilangkan.

Pilkada secara langsung dalam peraturan perundang-undangan di atur dalam Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi :

(1)          Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

(2)          Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 59 UU nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan,:

(1)      Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

(2)      Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

(3)      Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

(4)      Dalam proses penetapan pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

(5)      Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan:

  1. surat pencalonan yang. ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
  2. kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon;
  3. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
  4. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
  5. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
  6. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  7. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  8. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
  9. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang  mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
  10. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
  11. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.

(6)     Partai politik atau gabungan. partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.

(7)     Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.

2.2   Pengaturan Penyelenggaraan Pilkada Langsung

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

2.2.1                                              Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 menyebutkan :

(1) Pemilihan diselenggarakan oleh KPUD[8].

(2) Dalam menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, KPUD Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten/kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan.

(3) Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,rahasia, jujur, dan adil.

(4) Dalam pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.

Pasal 5 meneyebutkan, KPUD sebagai penyelenggara pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

  1. merencanakan penyelenggaraan pemilihan,
  2. menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  3. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
  4. menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan;
  5. meneliti persyaratan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan calon;
  6. meneliti persyaratan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusulkan;
  7. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
  8. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
  9. mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
  10. menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan;
  11. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan;
  12. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; dan
  13. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan hasil audit.

Pasal 6 menegaskan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan berkewajiban:

  1. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
  2. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  3. menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat;
  4. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundangundangan;
  5. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD;
  6. melaksanakan semua tahapan pemilihan tepat waktu.

Pasal 7

(1)    Dalam menyelenggarakan pemilihan, KPUD kabupaten/kota membentuk PPK, PPS, dan KPPS.

(2)    Pembentukan panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak pemberitahuan DPRD.

Pasal 8

KPUD kabupaten/kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur mempunyai tugas dan wewenang :

  1. merencanakan pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di kabupaten/kota;
  2. melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di kabupaten/kota;
  3. menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK dalam wilayah kerjanya, membuat berita acara, dan sertifikat hasil penghitungan suara;
  4. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
  5. mengkoordinasikan kegiatan panitia pelaksana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam wilayah kerjanya;
  6. menerima pendaftaran dan mengumumkan Tim Kampanye Pasangan Calon di kabupaten/kota; dan
  7. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPUD Provinsi.

2.2.2                                              Panitia Pemilihan Kecamatan

Panitia Pemilihan Kecamatan sebagaimana Pasal 9 ayat (1) dan (2) dibentuk oleh KPUD dan berkedudukan di kecamatan. Tugas dan wewenangnya adalah :

  1. mengumpulkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS, melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPS dalam wilayah kerjanya, membuat berita acara, dan sertifikat hasil penghitungan suara;
  2. membantu tugas-tugas KPUD dalam melaksanakan pemilihan.

Pasal 10

(1)         Anggota PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), sebanyak 5 (lima) orang berasal dari tokoh masyarakat yang independen.

(2)         Anggota PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh KPUD kabupaten/kota atas usul Camat.

(3)         Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk oleh Camat.

(4)         Pegawai sekretariat PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), adalah pegawai kecamatan yang jumlahnya sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan.

(5)         Kepala Sekretariat dan personil sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas usul PPK.

(6)         Tugas PPK dan sekretariat PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berakhir 1 (satu) bulan setelah pemungutan suara.

2.2.3  Panitia Pemungutan Suara

Pasal 11

(1) Panitia Pemungutan Suara berkedudukan di desa/kelurahan.

(2) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tugas dan wewenangnya,

  1. melakukan pendaftaran pemilih;
  2. mengangkat petugas pencatat dan pendaftar;
  3. menyampaikan daftar pemilih kepada PPK;
  4. melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dalam wilayah kerjanya dan membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara; dan
  5. membantu tugas PPK.

(3)    Anggota PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebanyak 3 (tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat yang independen.

(4)    Anggota PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul Kepala Desa/Kelurahan.

(5)    Dalam melaksanakan tugas PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibantu oleh Sekretariat yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

(6)    Pegawai sekretariat PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), adalah pegawai Desa/Kelurahan yang jumlahnya sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan.

(7)    Tugas PPS dan sekretariat PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) berakhir 1 (satu) bulan setelah pemungutan suara.

2.2.4  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

Dalam Pasal 12 menyebutkan

(1)         Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang.

(2)         KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas melaksanakan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS.

(3)         Untuk melaksanakan tugas KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di setiap TPS diperbantukan petugas keamanan dari satuan pertahanan sipil/ perlindungan masyarakat sebanyak 2 (dua) orang.

(4)         KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkewajiban membuat berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara untuk disampaikan kepada PPS.

2.2.5  Panitia Pengawas Pilkada

Panitia pengawas pernilihan mempunyai tugas dan wewenang:

a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan

d. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan.

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Menjelaskan secara kritis tentang fenomena Pilkada Lampung Utara, khususnya  pelaksanaan Penghitungan Ulang Surat Suara tidak sah berdasarkan Pasal 103 ayat (1) huruf e dan dalam kaitannya dengan bekerjanya hukum positif.
  2. Menjelaskan segi hukum dan bekerjanya lembaga hukum dalam menyelesaikan perkara yang di sebabkan oleh penghitungan ulangh  surat suara tidak sah ole KPUD.

3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat di peroleh dari hasil penelitian ini  adalah :

  1. Sebagai kajian hukum bagi akademisi dan praktisi menjelaskan kebenaran yuridis dengan hukum positif yang berlaku.
  2. Sebagai perspektif pemecahan masalah dengan paradigma hukum murni di tengah ketidakteraturan hukum yang berlaku.

BAB IV

METOE PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatifif atau legal research[9], yaitu penelitian terhadap bahan hukum primer dan dokumen lainnya dengan pendekatan legal positivistik hukum murni Han Kelsen.[10] Maksudnya agar dapat diketemukan peraturan hukum yang benar bagi suatu peristiwa  atau perkara in concreto yang sedang berlangsung, sehingga Isi peraturan hukum yang diketemukan dapat menjelaskan dan dapat diterapkan secara konkrit tidak samar. Peristiwa penghitungan ulang suara tidak sah dalam pelaksanaan Pilkada tanggal 10 dan 11 September 2008 oleh KPUD dinyatakan sah sesuai dengan UU No.32  Tahun 2004 jo Peratauran Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 di lain sisi hukum positif yang berlaku melalui lembaga peradilan yang kompeten menetapkan kelima anggota KPUD sebagai Tersangka dan oleh Pengadilan Tinggi diputuskan penghitungan ulang tidak sah, meskipun oleh Mahkamah Agung dinyatakan sah penghitungan ulang.

Pendekatan Legal reseach dalam paradigm legal positivistik hukum murni[11] berusaha mengungkap segi hukum penghitungan ulang dan bekerjanya hukum oleh peradilan ditinjau dari hukum sebagai aturan yanag terpisah dari politik kekuasaan dan lain sebagainya  melalui inventarisasi hukum positif yang berlaku secara in abstracto, dengan maksud sebagai premis mayor terhadap premis minor dari peristiwa atau perkara yang relevan dengan premis mayor  tersebut.

4.2  Lokasi Penelitian

Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder, dan terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka aktivitas tidak berada pada tempat penelitian, melainkan secara substansi berfokus pada struktur peraturan hukum dan penjelasan hukum peraturan maupun dokumen-dokumen yang diteliti.

4.3  Sumber Data

Sumber data dalam bentuk Data Sekunder, yaitu bahan yang berasal dari buku-buku referensi, majalah ilmiah hukum, jurnal penelitian, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Sedangkan Bahan hukum primer berasal dari Peraturan Perundang-undangan yang relevan dengan peristiwa yang berlangsung yaitu :

  1. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  2. UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang  Penyelenggaraan Pemilu.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  4. Keputusan KPUD Lampung Utara Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  5. Keputusan Pengadilan,
  6. Surat-surat, dan lain sebagainya.

4.4   Analisis Data

Fokus analisis adalah mendiaganosis dan berkonsultasi secara kritis terhadap seperangkat norma-norma hukum positif yang berlaku, di awali dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang berlaku in abstracto yang berfungsi sebagai asumsi dasar  untuk memahami dan mengurai permasalahan yang ada, selanjutnya membuat deskripsi melalui pengujian terhadap konsep atau teori yang sudah ada yang berlaku pada situasi konkrit.

Analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang aspek hukum dan bekerjanya hukum dalam peristiwa penghitungan ulang analisis  silogisme  sehingga di dapat sebuah konklusi tentang hukum yang seharusnya bekerja menyelesaikan masalah dalam perhitungan ulang pilkada Kabupaten Lampung Utara.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1    Rangkaian peristiwa hukum terkait dilaksanakannya penghitungan    Ulang Surat suara tidak sah.

  1. Pada Tanggal 9 Juli 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Utara priode 2008-2013 melalui rapat pleno, calon Bupati Dan Wakil Bupati ditetapkan nomor urut sebagai berikut:

NO          NAMA PASANGAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI

  1. Syahrul Jamal Bunga Masyang,SE – Drs.Azhar Ujang Salim
  2. Bachtiar Basrie,SH.MM – Slamet Haryadi,SH.M.Hum
    1. Drs. Suhardi – Mardani Umar,SH
    2. Sumanto,Spd – Edrin Indra Putra.S.Sos,MM
    3. Dr. Djauhari Mujib – Ahmad Mujib,S.Ag
    4. Drs. Zainal Abidin,MM – Rohimat Aslan
    5. Hj. Zubaidah Hambali – Subhan Efendi,SH
  1. Pada tanggal 24 Juli 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara mengeluarkan Keputusan Nomor 20/SK/KPU.KAB.LU/VII/2008 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan penghitungan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala daerah di tempat pemungutan suara.
  2. Pada tanggal 21 Agustus 2008, salah seorang Calon Bupati Nomor Urut 7 (Tujuh) Hj. Zubaidah Hambali, yang di usung Partai Golkar meningal dunia sehinga menyebabkan pasangan calon nomor urut 7 (Tujuh) gugur. Oleh KPUD Kabupaten Lampung Utara pada tanggal 26 Agustus 2008 dlaksanakan pleno, melalui berita acara nomor 270/339/KPU.LU/VIII/2008 tentang pemberian tanda silang pada gambar psangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, berisikan ;

a)      Pemberian tanda silang pada surat suara tanda gambar pasangan calon nomor urut 7 (Tujuh)

b)      Pemberian tanda silang sebagaimana huruf a diatas menggunakan spidol warna hitam, dan dilakukan oleh KPPS dihadapan pemilih yang sekaligus dilakukan penandatangan oleh KPPS, dan surat suara tersebut diberikan kepada pemilih dalam keadaan terlipat.

c)      Apabila terjadi pemilih masih ada yang mencoblos tanda gambar pasangan calon nomor urut 7 (Tujuh), makasuara tersebut dianggap batal.

d)     Suarat suara yang batal sebagaimana huruf c dimasukan kedalam kotak suara tidak sah.

  1. Pada tanggal 3 September telah dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten lampung utara bersamaan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Lampung. Pencoblosan dan penghitungan di tingkat TPS diseluruh Kabupaten berjalan lancar tidak ada masalah yang terjadi. Hasil Pencoblosan dan Penghitungannya oleh KPPS dimasukkan ke kotak suara dan diserahkan kepada Panitia Pemilihan Kecamatan untuk dilakukan rekapitulasi.
  2. Pada tanggal 4,5 dan 6 september 2008 seluruh PPK se-Kabupaten Lampung Utara melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara. Tanggal 6 September seluruh PPK selesai melaksanakan pleno rekapitulasi penghitungan suara dan hasil rekapitulasi dalam kotak suara diserahkan semua ke KPUD Lampung Utara, kecuali PPK Kecamatan Kotabumi yang menyerahkan tanggal 7 September 2008, (copy  rekapitulasi hasil penghitungan suara 23 PPK dan copy tanda terima penyerahan berkas rekapitulasi 23 PPK.  Hasil pleno rekapitulasi oleh masing-masing PPK sebagai berikut :
No Nama Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Jumlah Suara
1 Syahrul Jamal Bunga Mayang,SE-Drs. Azhar Ujang Salim,MM 13.749
2 Bachtiar Basrie,SH.MM – Slamet Haryadi,SH.M.Hum 99.300
3 Drs. Suhardi – Mardani Umar,SH 35.922
4 Sumanto,Spd – Edrin Indra Putra.S.Sos 5.249
5 Dr. Djauhari Mujib – Ahmad Mujib,S.Ag 28.519
6 Drs. Zainal Abidin,MM –  Drs. Rohimat Aslan 98.793
  1. Pada tanggal 6 september 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara melaksanakan rapat pleno yang menghasilkan Berita Acara Rapat Pleno Nomor : 270/346/KPU.KAB.LU/IX/2008 tentang penegasan Masalah Surat Suara yang dinyatakan Sah atau Tidak Sah.
  2. Pada tanggal 6 September 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara kembali mengadakan rapat pleno dengan hasil Berita Acara Rapat pleno 270/346/KPU.KAB.LU/IX/2008 tentang penghitungan ulang terhadap surat suara yang dinyatakan tidak sah oleh KPPS.
  3. Gerakan Koalisi Lampung Utara bersatu (GILAS) pengusung pasangan calon nomor urut 6, melayangkan surat permohonan penghitungan ulang terhadap suara tidak sah ke KPUD Lampung Utara, dengan alasan bahwa banyaknya surat suara yang dicoblos ke nomor 6 (enam) tembus ke nomor 7 (tujuh)  sedangkan dilipat dan berada dibalik nomor urut 6 (enam)) , GILAS mengatakan seharusnya surat suara sah karena yang dicoblos pemilih adalah nomor urut 6 (enam).
  4. Pada tanggal 8 dan 9 September  KPUD Kabupaten Lampung Utara mengundang Tim Kampanye masing-masing Calon untuk menghadiri Penghitungan Ulang Surat Suara Tidak Sah untuk disahkan.
  5. Pada tanggal 10 s/d 11 September 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara melaksanakan penghitungan  ulang terhadap surat suara tidak sah dalam kotak suara di TPS-TPS pada 7 PPK (Kecamatan)  yaitu :
    1. Kecamatan Kotabumi
    2. Kecamatan Abung Selatan
    3. Kecamatan Abung Kunang
    4. Kecamatan Abung Timur
    5. Kecamatan Abung Semuli
    6. Kecamatan Abung Tengah
    7. Kecamatan Abung Surakarta

yang tesrimpan dalam gedung KPUD Kabupaten Lampung Utara (Gedung KOPTI Sribasuki Kecamatan Kotabumi).

Panitia Pengawas Pilkada Kabupaten Lampung Utara yang mendapat undangan menghadiri, tidak menghadiri acara dimaksud dengan alasan menyalahi undang-undang.

Penghitungan  ulang semula hanya dihadir 5 PPK, 3 PPK menolak penghitungan ulang dan 2 PPK meminta untuk menghadiri KPPS, para anggota PPK oleh KPUD Kabupaten Lampung Utara diminta membuat berita acara yang memberikan wewenang kepada KPUD Kabupaten Lampung Utara untuk menghitung ulang kotak suara tidak sah. 5 PPK yang semula menolak penghitungan ulang, tiba-tiba melaksnakanan pembukaan kotak suara dan melakukan penghitungansuara tidak sah pada 7 PPK, sedangkan Panwas Pilkada Kabupatedan Lampung Utara secara tegas menolak dan tidak menyetujui penghitungan ulang.

Saksi pasangan calon nomor urut 2 (Dua) dan saksi pasangan calon nomor urut 5 (lima) juga secara tegas menolak dilaksanakannya penghitungan ulang, serta saksi-saksi tersebut diatas meninggalkan tempat penghitungan ulang. (cd 5 PPK rapat pleno menolak penghitungan ulang  dan rekaman video penghitungan ulang suara  tidak sah.

  1. Bahwa dalam penghitungan ulang surat suara tersebut, juga dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penghitungan ulang, antara lain dilakukan oleh pegawai secretariat KPUD Kabupaten Lampung Utara dan oknum-oknum yang tidak berkepentingan. Penghitungan ulang suara tidak sah dilakukan dengan cara tidak sah pula mencoblos kertas suara batal dicoblos tembus supaya sah.
  2. Pada tanggal 11 september 2008 Koalisi Lampung Utara Bersatu (KLUB) (Pengusung pasangan Calon Nomor urut 2 ) telah melakukan aksi damai dengan diikuti  5.000 orang dengan mendatangi Kantor Bupati Lampung Utara., dan bertemu dengan Bupati Lampung Utara beserta unsur Muspida Plus Kabupaten Lampung Utara. Muspida Plus Kabupaten Lampung Utara yang terdiri dari Bupati Lampung Utara, Kapolre Lampung Utara, Kepala Kejaksaan Negeri Kotabumi, Komandan Kodim 0412 / Lampung Utara, Ketua Pengadilan Negeri Kotabumi, Komandan KIMAL dan Ketua Pengadilan Agama Kotabumi, pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan bersama untuk menunda/menghentikan penghitungan ulang.
  3. Pada tanggal 11 September 2008, Panitia Pengawas Pilkada Kabupaten Lampung Utara Melaporkan kepada Kapolres Lampung Utara perihal Laporan Dugaan Tindak Pidana Pilkada.
  4. Koalisi Lampung Utara Bersatu melalui OKTA KORPIKA melaporkan kepada Polres Lampung Utara tentang terjadinya Pelanggaran Pilkada oleh KPUD.
  5. KPUD Kabupaten Lampung Utara tetap melanjutkan penghitungan ulang srat suara tidak sah meskipun berbagai pihak (Bupati Lampung Utara dan Muspida Plus, Panwas Pilkada Lampung Utara telah memperingati dan meminta hal tersebut di hentikan).
  6. Pada tanggal 14 september 2008 KPUD Kabupaten Lampung Utara melakukan Rapat pleno rekapitulasi jumlah suara pasangan calon yang kemudian dituangkan kedalam keputusan KPUD Kabupaten Lampung Utara Nomor  31/SK/KPU.LU/2008 tentang penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten Lampung Utara, dengan perincian hasil sebagai berikut :
No Nama Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Jumlah Suara
1 Syahrul Jamal Bunga Mayang,SE-Drs. Azhar Ujang Salim,MM 13.769
2 Bachtiar Basrie,SH.MM – Slamet Haryadi,SH.M.Hum 99.421
3 Drs. Suhardi – Mardani Umar,SH 35.981
4 Sumanto,Spd – Edrin Indra Putra.S.Sos 5.271
5 Dr. Djauhari Mujib – Ahmad Mujib,S.Ag 28.460
6 Drs. Zainal Abidin,MM –  Drs. Rohimat Aslan 100.125
  1. Dalam rapat pleno yang dilaksanakan oleh KPUD Kabupaten Lampung Utara tersebut, banyak diajukan keberatan oleh para saksi dari pasangan calon tentang penghitungan surat suara, tetapi sama sekali tidak mendapatkan tanggapan dari KPUD Kabupaten Lampung Utara, keberatan para saksi tersebut adalah mengenai jumlah perolehan suara masing-masing pasangan calon yang tidak sesuai dengan perolehan suara yang terdapat dalam berita acara dan rekapitulasi perolehan suara dari PPK, dan keberatan lainnya, yaitu hasil perolehan suara dari kotak suara yang dihitung ulang oleh KPUD Kabupaten Lampung Utara.
  2. Pada tanggal 15 September 2008 pasangan calon nomor Urut 2 (Dua) melalui kuasa hukumnya melayangkan permohonan keberatan terhadap penghitungan Suara hasil pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara kepada :
    1. Pengadilan Tinggi Tanjung Karang melalui Pengadilan Negeri Kotabumi
    2. Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Pengadilan Negeri Kotabumi
    3. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
  1. Tanggal 10 Oktober 2008 Polda Lampung menetapkan 5 Anggota KPUD Lampung Utara sebagai ‘Tersangka” Tindak Pidana  pelanggaran Pilkada. Kejaksaan Tinggi telah menyampaikan kepada Kapolda bahwa berkas Pelanggaran Pilkada ole h KPUD  telah lengkap.
  2. Pada hari senin 13 Oktober 2008 Pengadilan Tinggi Tanjung Karang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Hj. Maulida,SH bertempat di jalan Cut Mutia No. 42 Teluk Betung Bandar Lampung di gelar Pemacaan Putusan oleh Majelis Hakim Memutuskan dengan mengabulkan Gugatan Pasangan calon nomor urut 2  ( Hi. Bachtiar Basrie,SH.MM – Slamet Haryadi,SH.M.Hum ).
  1. Tanggal 19 Oktober Mahkamah Agung Melimpahkan kewenangan mengadili perkara Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi.
  2. Mahkamah Agung RI memberikan register Peninjauan Kembali (PK) sengketa Pilkada Lampung Utara  dari KPU Lampung Utara berdasarkan surat tanggal 11 Nocember 2008 dengan register nomor 33/PK/KPUD/2008 tanpa hari dan tanggal yang  kewenangannya telah dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi.
  3. Pada Tanggal 23 Desembe 2008 Mahkama Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi.
  4. Putusan PK Mahkamah Agung Tanggal 23 Deseember 2008 banyak kesalahan fatal.
  5. Tanggal 23 Desember 2008, Polda melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Lampung  atas nama  M. Tio Aliansyah dkk (Anggota KPUD Lampung Utara) dengan No Pol : BP/02/XII/SAT-I/ 2008/Dit Reskrim tertanggal 16 Desember 2008, dalam perkara Tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seseorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkab pasangan calon tertentu mendapatkan tambahan suara, atau perolehan suaranya berkurang, merusak atau mengilangkan hasil pemungutan suara yang sudah di segel, mengubah hasil penghitungan suara, dan atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, dan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara sebagaimana di maksud dalam Pasal 118 ayat (1 & 4 ) dan Pasal 119 UU RI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  6. Pada tanggal 12 Januari 2009 Tim Advokasi Bachtiar-Slamet mengajukan Penolakan Terhadap Putusan MA RI Nomor 33/PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 tentang Sengketa Pilkada Lampung Utara, dengan materi surat.
  7. Pada tanggal 2 Maret 2009, Mahkamah Agung memutuskan PK yang diajukan oleh Bachtiar Slamet tidak Diterima.
  8. Pada tanggal 27 Februari 2009 Kejaksaan Tinggi Lampung Memberi Tahu kepada Kapolda Lampung bahwa Penyidikan Perkara Pidana a.n.Tio Aliansyah sudah lengkap.
  9. Saat ini perkara pidana oleh Polda berkas dan tersangkanya belum dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Lampung untuk diajukan ke pedrsidangan.

Dari uraian Pasal baik yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ataupun dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, maka pelaksanaan penghitungan ulang terhadap surat suara tidak sah di dasarkan karena adanya.

  1. Pengaduan Gilas tanggal 6 september 2008 tentang adanya pencoblosan yang inkonsistensi oleh pemilih terhadap surat suara yang sah dan yang tidak sah, yakni nomor enam tembus nomor tujuh.
  1. Rapat Pleno KPU tanggal 6 September yang menetapkan tanggal 10 dan 11 September 2008 Penghitungan Ulang.

5.2  Eksistensi Hukum Pasal 103 Ayat (1) huruf e

Penghitungan Ulang di dalam penyelenggaraan Pilkada dibenarkan karena di atur dalam UU nomor 32 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2005. Pasal-pasal yang mengatur tentang penghitungan ulang. Akan tetapi Penghitungan ulang surat suara tidak dapat dilaksanakan tanapa adanya sebab yanag menjadi dasar penghitungan ulang itu sendiri. Oleh karena tiu sangat jelas dasar dan alasan sebagai berikut :

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara jelas pada Pasal 103 :

(1)      Penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut:

  1. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
  2. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan cahaya;
  3. saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
  4. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau
  5. terjadi ketidak konsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.

(2)      Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.

(3)      Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4)      Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupatean/kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi, hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pasal 104

(1)      Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

(2)      Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:

  1. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
  2. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
  3. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
  4. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau.
  5. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan saara pada TPS.

Pasal 105

Penghitungan suara dan. pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah hari pemungutan suara.

Dalam Pasal 90 PP Nomor 6 Tahun 2006

(1)      Penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan :

a. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;

b. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan cahaya;

c. saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;

d. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau

e. terjadi ketidak konsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.

(2)      Penghitungan ulang surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat PPS, apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.

(3) Penghitungan ulang surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat PPK, apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPUD Kabupaten/Kota, dan KPUD Provinsi dalam perhitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pasal 91

(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan:

  1. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
  2. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
  3. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
  4. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
  5. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

Pasal 92

Penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91, diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah hari pemungutan suara.

Eksistensi Pasal 103 ayat (1) huruf e dalam kaitannya dengan penerapan hukum oleh KPUD, penting dikemukakan analisisnya, Untuk itu perlu diungkap peraturan hukum in abastrakso yang dijadikan dasar pelaksanaan peraturan yang benar, setelah meninggalnya salah satu pasangan  Calon Nomor urut 7  (Zubaidah Hambali) adalah Sebagai berikut :

  1. Berdasarkan Berita Acara Rapat Pleno KPU Kabupaten Lampung Utara Nomor : 270/339/KPU.KAB.LU/VIII/2008 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Pemberian tanda silang pada gambar Pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah,  secara tegas menyatakan bahwa apabila pemilih masih ada yang mencoblos tanda gambar pasangan calon nomor urut 7 (tujuh), maka suara tersebut dianggap batal.
  2. Penghitungan Ulang Surat Suara, hanya boleh dilakukan di TPS.
  3. Penghitungan Ulang Surat Suara, hanya boleh dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut :
  • Penghitungan Suara dilakukan secara tertutup.
  • Penghitungan Suara dilakukan ditempat yang kurang cahaya.
  • Saksi Pasangan Calon, Panwas, Pemantau dan Warga Masyarakat tidak dapat menyaksikan penghitungan suara secara jelas.
  • Penghitungan Suara dilakukan ditempat diluar tempat dan waktu yang telah ditentukan. Dan / atau terjadi ketidak konsistenan dalam menentukan suara yang sah dan tidak sah. (Pasal 103 ayat (1) UU 32/2004.jo Pasal 90 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2005

Bahwa menurut hukum, “Surat Suara dinyatakan sah, apabila tanda coblos HANYA terdapat pada 1 (satu) kotak segi empat yang memuat satu pasangan calon atau dalam satu kotak segi empat yang memuat nomor, foto, dan nama satu pasangan calon atau lebih dari satu  t a p i  masih dalam satu kotak segi empat yang memuat nomor, foto, dan nama satu pasangan calon”. (Pasal 95  huruf b UU No.32 tahun 2004 Jo. pasal 82 huruf b PP No. 6 tahun 2005). Sedangkan alasan Protes dan Permohonan Penghitungan ulang Surat Suara Tidak Sah yang diajukan oleh GILAS dan saksi PPK dari Pasangan Calon Nomor Urut 6 (enam), adalah coblosan yang berada pada 2 (dua) kotak segi empat yang berbeda, yang memuat 2 (dua) pasangan calon, dan memuat 2 (dua) nomor serta memuat 2 (dua) foto dan memuat 2 (dua) nama pasangan calon yang berbeda, yaitu pasangan calon nomor urut 6 (enam) dan pasangan calon nomor urut 7 (tujuh). Oleh karenanya demi hukum, maka Surat Suara yang dicoblos pada 2 (dua) kotak segi empat yang berbeda, yang memuat 2 (dua) pasangan calon, dan memuat 2 (dua) nomor serta memuat 2 (dua) foto dan memuat 2 (dua) nama pasangan calon yang berbeda, adalah batal dan atau tidak sah.

  1. i.         Bahwa menurut hukum, Protes atau Keberatan yang dapat diajukan oleh GILAS dan saksi PPK tersebut diatas, adalah Protes / Keberatan terhadap jalannya penghitungan suara di TPS oleh PPK, yaitu apabila penghitungan Suara itu dilakukan menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Dan yang diprotes itu adalah terhadap hasil Rekapitulasi Penghitungan Surat Suara dan / atau bukan terhadap keabsahan Surat Suara. (vide pasal 97 Jo. pasal 98 UU No.32 tahun 2004 Jo. pasal 85 ayat (3) PP No. 6 tahun 2005).
  2. ii.         Bahwa oleh karena Protes dan Permohonan Penghitungan ulang terhadap Surat Suara yang diajukan oleh GILAS dan saksi PPK dari pasangan calon nomor urut 6 (enam) tidak dilakukan di TPS dan bukan terhadap jalannya penghitungan suara, maka demi hukum, Protes atau Keberatan serta Permohonan Penghitungan Ulang Surat Suara tersebut, adalah tidak sah karena tidak beralasan menurut hukum,

Berdasarkan analisis terhadap Pasal 103 ayat (1) huruf e di atast diatas, maka tidak ada alasan yang kuat Pasal 103 ayat (1) huruf e di jadikan dasar penghitungan suara tidak sah terhadap surat suara apalagi yang tidak sah yang telah masuk kedalam kotak dan dalam keadaan disegel, yang dilakakukan hanya berdasarkan Protes dan Permohonan dari Pasangan Calon Nomor Urut 6 (enam) dengan menggunakan alasan terjadi ketidak konsistenan di dalam pencoblosan terhadap suara yang sah dan tidak sah. Oleh karena itu  pasal 103 ayat (1) huruf e, eksistensinya hanya dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit yang terjadi di tempat dilaksanakannya pemungutan suara seperti di TPS ataupun di tingkat PPK. Dalam peristiwa penghitungan oleh KPUD di Gedung Kopti atau Gudang KPUD maka eksistensi Pasal 103 ayat (1) huruf e sangat lemah dan menimbulkan aspek hukum yang tidak baik bagi pelaksanaan pilkada langsung, jujur dan demokratis serta berkepastian hukum.

5.3  Pelaksanaan Penghitungan Ulang Surat Suara Tidak Sah

Pelaksanaan Penghitungan ulang surat suara tidak sah berdasarkan surat undangan yang disampaikan KPUD kepada Panitia Pemilihan Kecamatan dan Tim Kampanye Masing-masing Pasangan Calon adalah tanggal 9 dan tanggal 10 September 2008. Sedangkan Pelaksanaan Penghitungan ulang itu sendiri pada tanggal 10 dan 11 Septrember 2008. Dengan kata lain hanya dengan jangka 1 (satu) hari saja undangan KPUD kepada PPK untuk melaksanakan Penghitungan ulang.

Pelaksanaan berdasarkan undangan yang seharausnya hadir adalah 23 PPK dari semua kecamatan yang setiap orang berjumlah 5 orang. Kenyataannya yang hadir hanya dari 5 kecamatan dan tidak lengkap PPKnya. Meskipun mendadak muncul PPK dan tidak lengkap melaksanakan penghitungan ulang pada hari pertama tanggal 10 September yaitu Abung Surakarta, Abung Selatan, Abung Semuli. Sedangkan Hari Kedua tanggal 11 September 2008 Kecamatan Kotabumi, Abung Tengah, Abung Kunang dan Abung Timur.

Pelaksanaan Penghitungan ulang Oleh Panitia Pengawas Pilkada lembaga yang kompeten mengawasi pelaksanaan pilkada, dianggap bertentangan dengan hukum oleh karenanya dilaporkan ke Polres Lampung Utara dengan Suratnya tanggal 9 September 2008. Demikian oleh Pasangan Calon nomor 2, nomor 5 pelaksanaan penghitungan ulang ditolak karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hasil Penghitungan Ulang surat suara tidak sah tanggal 10 dan tanggal 11 September 2008 tersebut selanjutnya oleh KPUD dikumulasikan dengan hasil suara sah, diperoleh dari rekapitulasi penghitungan surat suara yang sah pada tanggal 4,5 dan 6 september 2008. Berdasarkan penjumlahan yang diperoleh dari Rekapitulasi penghitungan surat suara sah oleh PPK dan Penghitungan ulang surat suara tidak sah pada tanggal 10 dan 11 September. KPUD pada tanggal 14 September 2008 melaksanakan rapat Pleno tentang rekapitulasi dan pengumuman dan penetapan pemenang Pilka Lampung Utara yang menimbulkan penolakan dari calon nomor 2 dan Penolakan dari Panwas Pilkada Lampung Utara.

Hasil dari pelaksanaan penghitungan ulang telah menimbulkan segi hukum bagi pelaksanaan Pilkada, yakni Laporan Panwas Pilkada ke Polres Lampung Utara bahwa Penghitungan ulang perbuatan pelanggaran pidana pemilu. Aspek hukum pidana terbukti dengan bekerjanya polisi di dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memberikan status kelima Anggota KPUD sebagai Tersangka dan saat ini dalam proses pelimpahan ke Kejaksaan Tinggi.

Aspek Hukum lainnya, oleh Pasangan Calon Nomor urut 2 diajukan gugatan ke Mahkamah Agung yang dalam prosesnya diajukan dan di delegasikan ke Pengadilan Tinggi, telah membatalkan Putusan KPUD Lampung Utara. Putusan PT Nomor 01/KPUD/2008.

5.4  Aspek Hukum Penghitungan Ulang

Alasan terjadi ketidak-konsistenan di dalam pencoblosan surat suara sah dan tidak sah sehingga dilaksanakan penghitungan ulang didasarkan sebagaimana Pasal 103 ayat (1) huruf e Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi :

(1) Penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut :

  1. a. Penghitungan suara dilakukan secara tertutup ;
  2. b. Penghitungan dilakukan ditempat yang kurang penerangan cahaya ;
  3. c. Saksi pasangan calon, panbitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas ;
  4. d. Penghitungan suara dilakukan ditempat lain diluar tempat dan waktu yang telah ditentukan dan atau;
  5. e. Terjadi ketidak-konsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah;

Penerapan Pasal 103 ayat (1) huruf e oleh penyelenggara Pilkada (KPUD) dengan cara melaksanakan penghitungan ulang yang dilakukan di Gedung Kopti (gudang penyimpanan kotak suara KPUD), prosedurnya dilakukan  dengan cara mengundang Panitia Pengawas Kecamatan Saksi pasangan calon dan saksi-saksi di PPK.

Oleh karena itu bila yang dimaksud Pasal 103 ayat (1) e tanpa ada ketentuan hukum yang mengatur lebih lanjut tentang penghitungan ulang tersebut, secara hukum dibenarkan dan sah. Akan tetapi sebagaimana eksistensi Pasal 103 ayat (1) huruf e harus di kaitkan dengan aturan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 103 ayat (2), ayat (3),dan ayat (4) yang bunyinya secara tegas adalah sebagai berikut :

Ayat (2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS;

Ayat (3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS; dan

Ayat (4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Prropinsi dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya ;

Oleh karena itu, meneliti dan mempelajari pasal 103 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) hukumnya sangat jelas bahwa KPU telah menyalahi tatacara penghitungan ulang, dan KPUD telah melampui kewenangan penyelenggara di tingkat bawahnya yang telah dilaksanakan seperti KPPS telah menghitung surat suara, dan dalam penghitungan tidak ada yang keberatan baik dari saksi dan masyarakat tentang adanya kesalahan di dalam pencoblosan antara surat suara sah dan tidak sah. Oleh karena itu hasil Penghitungan suara dimasukkan kotak dan dikirimkan ke Panitia Pemilihan Kecamatan oleh Panitia Pemungutan surara tingkat desa/kelurahan.

Bahwa ditingkat Rekapitulasi dan penghitungan suara oleh Panitia Pemilihan Kecamatan juga dilaksanakan secara wajar tidak ada yang keberatan terhadap hasil penghitungan surat suara ditingkat TPS oleh karena itu pada ganggal 6 September semua berita acaraq rekap telah diserahkan kepada KPUD.

Bahwa bila permasalahannya terjadi ditingkat KPUD, kenyataannya KPUD belum melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara, dengan kata lain Pasal 103 ayat (1), (2), (3), (4) tidak cocok atau tidak sesuai dengan kehendak KPUD melaksanakan Penghitungan ulang di Gedung Kopti tersebut.

Bahwa Terhadap Pelaksanaan penghitungan ulang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jelas mempunyai segi hukum yang merugikan bagi pasangan calon yang mengikuti pilkada yaitu :

  1. Penghitungan ulang menyebabkan suara pasangan calon lain ada yang berkurang dan ada yang bertambah.
  2. Bahwa karena pelaksanaan penghitungan ulang tidak sejalan dengan maksud undang-undang, maka dalam Pasal 118 dan 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 jelas memberikan ancaman terhadap KPUD atas pelaksanaan penghitungan ulang sebagai berikut :

Pasal 118

(1)          Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2)          Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan Suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling tianyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(3)          Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4)          Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara daa sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 119

Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.

Pasal 106[12]

(1)   Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2)   Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

(3)   Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

(4)   Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung.

(5)   Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

(6)   Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.

(7)   Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.

Pasal 118 dan Pasal 119 UU Nomor 32 Thun 2004 memiliki segi hukum pidana terhadap perbuatan KPUD yang melaksanakan penghitungan ulang. Sedangkan Pasal 106 memiliki segi hukum perdata khusus yaitu Pengadilan dapat memeriksa dan mengadili keputusan KPUD  didalam menyelenggarakan KPUD.

Arsip Surat notulen Rapat Penyelenggara pilkada (KPUD) tanggal 6 September 2008 yang menjadi dasar dikeluarkannya 2 (dua) Surat Keputusan Pleno tanggal 6 September 2008 nomor 270/346/KPU-KAB/IX/2008 Tentang Penegasan Masalah Surat Suara yang dinyatakan SAH dan TIDAK SAH, dan nomor 270/347/KPU.KAB LU/IX/2008 tentang Penghitungan Ulang Terhadap Surat Suara yang dinyatakan TIDAK SAH oleh KPPS. Maka pada kenyataan yang  telah terjadi adalah ketidak-konsistensian penyelenggara dalam melaksanakan pilkada.

Meneliti dan mempelajari dokumen rapat pleno dan terbentuknya keputusan Pleno tanggal 6 September 2008 tentang Penegasan Masalah Surat Suara yang dinyatakan Sah dan Tidak Sah, maka seharusnya penghitungan ulang terkait dengan perkara tersebut adalah penghitungan ulang terhadap ketidak-konsistensian pencoblosan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tersebut :

“Suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dinyatakan sah apabila”

  1. a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS dan
  2. b. Tanda coblos hanya terdapat pada 1 (satu) kotak segi empat yang  memuat  satu pasangan calon,atau
  3. c. Tanda coblos terdapat dalam salah satu kotak segi empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon yang telah ditentukan; atau
  4. d. tanda coblos lebih dari satu, tetapi masih di dalam salah satu kotak segi empat yang memuat, foto dan nama pasangan calon, atau
  5. e. tanda coblos terdapat pada salah satu garis kotak segi empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon.

Demikian pula dalam Pasal 82 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengatur hal yang sama dengan ketentuan Pasal 95  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta ketentuan KPU Propinsi Lampung terkait dengan surat suara sah dan tidak sah yang telah membuat Keputusan nomor 270/370/KPU LPG/VIII/2008 tanggal 27 Agustus 2008;  dengan kata lain masalah konsistensi terdapat dalam ruang lingkup pasal-pasal dan ketentuan tersebut di atas.

Penyelenggara Pilkada (KPUD) mendasarkan ketidak-konsistensian berdasarkan pada keberatan yang disampaikan oleh surat Gerakan Koalisi Lampung Utara Sejahtera (Gilas) Parpol Pengusung Calon Pasangan Nomor 6 tangal 6 September 2008, tetapi peristiwa hukumnya tidak secara jelas, di tempat pemungutan suara mana terjadi inkonsistensi, berapa surat suara yang inkonsistensi, sehingga alasan penghitungan ulang surat suara tidak sah karena terjadi ketidak-konsistenan di dalam pencoblosan menjadi suatu yang abstrak dan tidak jelas kebenarannya, karena dari keenam saksi dari masing-masing pasangan calon hanya saksi Nomor Urut 6 yang keberatan sedangkan saksi yang lain tidak keberatan.

Seharusnya Kewenangan untuk melakukan tindakan hukum terlebih dahului ada pengaduan dari Panitia Pengawas Pilkada untuk menentukan dengan berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan untuk disampaikan kepada KPU, bukannya KPUD secara langasung langsung mengambil alih atau menerima langsung pengaduan tersebut. Bahwa yang menjadi tidak logis adalah semua saksi tidak ada yang keberatan terhadap perhitungan yang telah dilaksanakan ditingkat TPS maupun PPK, tiba-tiba setelah semua mengumpulkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat PPK kepada KPU. KPU melakukan bukan menyiapkan untuk rekapitulasi hasil penghitungan di tingkat KPUD tetapi justru mengadakan penghitungan ulang suara tidak sah.

Dari uraian di atas, Aspek hukum pelaksanaan penghitungan ulang surat suara tidak sah yang hanya mendasarkan pada surat Pengaduan Gilas, bukan persoalan yuridis, melainkan sebagai upaya sistematis dan terstruktur agar KPUD secara politis yuridis mendapat alasan prosedural melakukan penghitungan ulang. Tetapi pada intinya kepentingan politis KPUD telah menggunakan peraturan hukum in abstrakto untuk diterapkan dalam pelaksanaan penghitungan ulang.

Mempelajari dokumen Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan suara oleh PPK dari semua kecamatan bila dijumlahkan, maka berdasarkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara oleh 23 PPK se Kabupaten Lampung Utara, KPUD mengetahui yang unggul dalam perolehan suara adalah calon poasangan nomor urut 2, dengan memperoleh 99.300 suara, dibandingkan pasangan calon Nomor Urut 6 yang memperoleh 98.793 suara.

Selain KPUD dan Tim Kampanye Pasangan Nomor 2 yang mengetahui bahwa tanggal 6 September hasil perolehan sementara Pilkada Lampung Utara sudah diketahui adalah Desk Pilkada Pemda Lampung Utara dan Panwas Pilkada Lampung Utara bahwa Pasangan calon nomor urut 2 yang unggul. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa aturan hukum yang mengatur tentang penghitungan ulang telah di abaikan oleh KPUD dan KPUD tidak independen dalam melaksanakan pilkada Lampung Utara.

5.5   Bekerjanya Hukum

Akibat hukum dari pelaksanaan penghitungan ulang adalah Penetapan Pemenang Pilkada oleh KPUD, yaitu calon pasangan nomor 6.  Ketetapan  KPUD  tersebut oleh Calon Pasangan nomor urut 2 diajukan keberatan dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tinggi. Gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta tidak dapat diterima dengan alasan Mahkamah Agung belum melimpahkan perkara sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan keberatan diajukan ke Pengadilan Tinggi berdasrkan ketentuan Pasal 106 UU nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut :

(1)  Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2)   Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

(3)   Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

(4)   Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung.

(5)   Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

(6)    Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.

(7)    Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota menegaskan dalam:

Pasal 2 ayat (5) Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi memutus permohonan keberatan pada tingkat pertama dan terakhir.

Pasal 3 ayat (5) Keberatan yang diajukan oleh Pemohon atau kuasa hukumnya wajib menguraikan dengan jelas dan rinci tentang; a. Kesalahan dari Penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil suara penghitungan yang benar menurut Pemohon; b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara  yang diumumkan KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”

Pasal 4 Ayat (6) Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat.

Dalam Pasal 106 ayat (2) keberatan hanya berkaitan dengan hasil penghitungan suara  yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Peraturan hukum yang sangat limitatif tersebut menyebabkan kesulitan bagi lembaga peradilan (Majelis Hakim) untuk menegakkan hukum secara benar dalam mengungkap kebenaran yang ada dari peristiwa yang timbul dalam sengketa pilkada. Dalam artian  majelis hakim tidak lebih memeriksa angka-angka yang dihitung dan direkapitulasi oleh KPUD, dari mana asal usul dan sebab-sebab diperolehnya tidak termasuk kewenangan hakim.

Hakim sangat terbatas hanya melihat keberatan yang tertulis yang mempengaruhi pasangan calon. Dalam perkara yang diperiksa dan di putus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, dapat dikemukakan sebagai berikut :

Bahwa hasil penelitian terhadapi amar putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 01/Pdt/PKD/2008/PT.TK tanggal 13 Oktober 2008 , berbunyi sebagai berikut :

1) Mengabulkan permohonan keberatan Pemohon Hi. Bachtiar Basri,SH.,MM dan Slamet Haryadi,SH.,M.Hum. untuk sebagian;

2) Menyatakan bahwa Berita Acara Rapat Pleno Nomor 270/347/KPU.KAB.LU/IX/2008 Tentang Penghitungan Ulang Terhadap Surat Suara adalah Tidak sah;

3) Menyatakan bahwa penghitungan ulang yang dilakukan oleh Termohon dari tanggal 10 sampai dengan 11 September 2008 adalah Tidak sah;

4) Menyatakan hasil Perolehan Suara Pemohon Berdasarkan Berita Acara  dan Rekapitulasi hasil Perolehan Suara dari 23 PPK memperoleh 99.300 suara (35,28%) dan Pasangan Calon Nomor urut 6 memperoleh 98.703 suara (35.07%) adalah sah;

5) Membatalkan Keputusan Termohon Nomor 31/SK-KPU.KAB.LU/2008 Tanggal 14 September 2008 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara;

6) Menetapkan Hasil Rapat Pleno 23 PPK se-Kabupaten Lampung Utara dalam bentuk Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kecamatan yang dibuat tanggal 3,4,5,6 September 2008 sebagai berikut

  1. a. Pasangan Calon Nomor Urut 1 Hi. Syahrul Jamal Bunga Mayang, SE – Drs. Hi. Azhar Ujang Salim, MM total memperoleh 13.794 suara;
  2. b. Pasangan Calon Nomor Urut  2 Hi. Bachtiar Basri, SH. MM. – Slamet Haryadi, SH. M.Hum.  total memperoleh 99.300 suara;
  3. c. Pasangan Calon Nomor Urut 3 Drs. Hi. Suhardi – Hi. Mardani Umar, SH. Total memperoleh 35.922 suara;
  4. d. Pasangan Calon Nomor Urut 4  H. M. Sumanto, S.Pd. – Edrin Indra Putra, S.Sos. MM. total memperoleh 5.249 suara;
  5. e. Pasangan Calon Nomor Urut 5 Dr. Hi. Djauhari Thalib, M.Kes – Ahmad Mujib, S.Ag. total memperoleh 28.519 suara;
  6. f. Pasangan Calon Nomor Urut  6 Drs. Hi. Zainal Abidin, MM. – Drs. Hi. Rohimat Aslan  total memperoleh 98.793 suara ;

adalah sebagai hasil perhitungan suara yang benar dan sah menurut hukum.

7) Menolak Permohonan Pemohon untuk yang lain dan selebihnya.

8) Membebankan beaya perkara kepada Termohon tersebut, yang telah

Meskipun dari amar tampak telah sesuai, akan tetapi majelis hakim tinggi dalam memberikan pertimbangan terhadap amar angka ke enam tentang hasil rekapitulasi tidak didasarkan pada bukti rekapitulasi PPK yang diajukan oleh Pemohon keberatan, melainkan mendasarkan bukti yang diajukan oleh Pemohon berdasarkan bukti hasil Desk Pilkada Lampung Utara.

Hal ini dapat dimaklumi karena kewenangan hakim dalam memeriksa kasus pilkada, termasuk menghitung menjumlah bukan kewenangan majelis Hakim, hal tersebut menjadi kewenangan KPUD sehingga untuk menerapkannya dengan mendasarkan pada hasil desk Pilkada Lampung Utara.

Pertimbangan ini yang selanjutnya menjadi dasar KPUD mengajukan Penbinbjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan alasan Majelis Hakim Tinggi telah keliru menetapkan hasil pilkada berdasarkan Desk Pilkada Lampung Utara.

Bahwa Bekerjanya hukum ditingkat Mahkamah Agung dalam kaitannya dengan prosedur dan tahapan pemeriksaan hingga diputuskan oleh Majelis Hakim Agung sebagaimana diajukan oleh KPUD dalam pembahasan hasil penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut :

  1. Panitera/Sekretaris Pengadilan Tinggi Tanjungkarang tertanggal 28 NOPEMBER 2008 Nomor W9-U/1624/HT.04.10/XI/2008 berkas perkara Pilkada Lampung Utara Nomor 01/Pdt/PKD/2008/PT.TK. tanggal 13 Oktober 2008 dikirimkan kepada  Ketua Mahkamah Agung RI ;
  2. b. Bahwa dengan suratnya kepada Ketua Pengadilan Tinggi Tanjungkarang  tertanggal 11 Desember 2008 Nomor 2025/Reg.KPUD/XII/33 PK/KPUD/2008, Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung  yang isi suratnya adalah :

”Dengan ini diberitahukan, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 01/Pdt/PKD/2008/PT.TK. tanggal 18 September 2008 antara KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) KABUPATEN LAMPUNG UTARA melawan HI. BACHTIAR BASRI, SH.MH,DK. Yang dimohonkan pemeriksaan Peninjauan Kembali berdasarkan Surat Pengantar Saudara tanggal 28 November 2008 No. W9-U/1624/HT.04.10/XI/2008 telah diterima Mahkamah Agung.”

”Bahwa perkara tersebut telah didaftarkan dengan Nomor Register 33 PK/KPUD/2008.”

Sebagaimana telah diketahui umum, perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 19 DESEMBER 2008;

  1. c. Bahwa prosedur pemeriksaan di tingkat Mahkamah Agung, urut-urutan proses pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung adalah :

–                    berkas perkara diterima di Mahkamah Agung

–                    perkara diregister di Mahkamah Agung

–                    penetapan majelis hakim pemeriksa perkara

–           anggota majelis hakim yang sudah ditetapkan itu secara bergiliran membaca berkas perkara, yang lazim disebut Pembaca 1, Pembaca 2 dan seterusnya.[13]

Dengan demikian isi surat  Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi Tanjungkarang tertanggal 11 Desember 2008 Nomor 2025/Reg.KPUD/XII/33 PK/KPUD/2008, berkas perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut baru dibaca oleh Majelis Hakim Agung yang ditetapkan untuk memeriksa perkara tersebut pada tingkat peninjauan kembali paling cepat adalah sama dengan tanggal surat Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung tersebut yaitu tanggal 11 Desember 2008. Majelis Hakim Agung yang ditetapkan untuk memeriksa perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut terdiri dari 5 (lima) orang hakim agung yaitu : 1. Paulus E.Lotulung, 2. Imam Subechi, 3. HM. Nya’ Pa 4. Achmad Sukardja, 5. Mansyur Kertayasa, yang rata-rata usianya sudah tidak muda lagi, karena rata-rata mereka adalah hakim senior.

Dalam Logika hukum yang berlaku, berkas perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 mulai diperiksa oleh Majelis Hakim Agung tersebut pada tanggal 11 Desember 2008 yang bertepatan dengan hari Kamis dan kemudian diputus pada tanggal 19 Desember 2008 yang bertepatan dengan hari Jumat. Di antara hari Kamis 11 Desember 2008 dengan hari Jumat 19 Desember 2008 terdapat 2 (dua) hari libur yaitu Sabtu 13 Desember 2008 dan Minggu 14 Desember 2008 dengan demikian kesempatan Majelis Hakim Agung untuk memeriksa berkas perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut hanya tersedia sebanyak 6 (enam) hari kerja yaitu 11 dan 12 Desember 2008 dilanjutkan 15, 16, 17 dan 18 Desember 2008 dan kemudian pada 19 Desember 2008 putusan itu diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum selain itu berkas perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut tidaklah tipis melainkan tebal.

Memahami dan mencermati Majelis Hakim Agung pemeriksa perkara tersebut yang terdiri dari 5 (lima) orang dan dengan demikian berarti masing-masing hakim agung kebagian waktu hanya 1 (satu) hari sebagai Pembaca 1, Pembaca 2 dan seterusnya untuk mempelajari  perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut yang relatif tebal berkasnya, maka  pemeriksaan perkara tidak di dasarkan pada pemeriksaan yang fair dan adil, kakecuali tidak masuk akal sehat, juga adalah nyaris mustahil untuk diperolehnya putusan yang seadil-adilnya dalamrena bekerjanya hukum sangat-sangat terbatas serta mendesak sedemikian itu. Oleh karena itu akibat putusan Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut dibuat secara tergesa-gesa, dalam kondisi dan situasi yang waktunya sangat-sangat terbatas serta mendesak sedemikian itu maka terjadilah sejumlah kesalahan dan kejanggalan yang selama ini nyaris tidak pernah terjadi dalam suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Berkas perkara dan perkara yang diperiksa dan diputus Nomor 33 PK/KPUD/2008 adalah perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lampung Utara, dalam perkataan lain, perkara tersebut bukan perkara perceraian dan bukan pula perkara hubungan industrial, Bahwa meskipun perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 adalah perkara Pilkada akan tetapi di dalam putusannya tertanggal 19 Desember 2008 tersebut ditulis dan terbaca antara lain sebagai berikut :

”Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 4 Nopember 2008 kemudian oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang pada tanggal 18 Nopember 2008;”

Menyangkut pertimbangan hukum yang dikutip di atas, sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan ketik belaka yang tidak mempengaruhi putusan Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 tersebut. Dari kutipan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas dihubungkan dengan sejumlah kesalahan dan kejanggalan lainnya, baik di dalam pertimbangan hukum maupun amar putusan Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 tersebut, pertimbangan hukum yang dikutip membuktikan bahwa Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 telah mengambil/menggunakan/mengutip pertimbangan hukum untuk/dalam perkara lain (yang bukan perkara sejenis yaitu sengketa Pilkada tetapi perkara hubungan industrial!)   dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa Pilkada  Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut.

Konsekuensi yuridis dari pertimbangan hukum ”copy paste” sedemikian itu adalah perkara sengketa Pilkada Lampung Utara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi Tanjungkarang adalah perkara Nomor 01/Pdt.PKD/2008/PT.TK. tanggal 13 Oktober 2008, akan tetapi yang dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung tingkat peninjauan kembali dalam perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 yang dibatalkan adalah putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 01/Pdt.PKD/2008/PT.TK. tanggal 18 September 2008.

Oleh karena Majelis Hakim Agung tingkat peninjauan kembali dalam perkara Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut melakukan copy paste pertimbangan hukum dalam/untuk perkara lain  yang bukan sejenis (pertimbangan hukum untuk perkara hubungan industrial, bukan sengketa Pilkada) yang oleh mereka digunakan dalam/untuk pertimbangan hukumnya dalam memeriksa perkara sengketa Pilkada Nomor 33 PK/KPUD/2008 maka berarti Majelis Hakim Agung telah benar-benar melakukan unprofessional conduct, suatu perbuatan yang melanggar Kode Etik Hakim.

Dalam yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI, jika amar suatu putusan lembaga Pengadilan yang lebih tinggi kedudukannya menguatkan ataupun sebaliknya membatalkan putusan lembaga Pengadilan yang lebih rendah kedudukannya maka harus disebutkan Nomor dan Tanggal putusan yang dikuatkan atau sebaliknya dibatalkan.[14] Nomor dan tanggal dari putusan lembaga Pengadilan tingkatan yang lebih rendah yang dikuatkan atau sebaliknya dibatalkan oleh lembaga Pengadilan tingkatan yang lebih tinggi  itu harus pas, tidak boleh berbeda. Oleh karena itu yang dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung dengan putusannya Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 adalah putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 01/Pdt.PKD/2008/PT.TK. tangal 18 September 2008. Menurut M. Yahya Harahap[15], yang pernah bertahun-tahun lamanya menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, adalah merupakan suatu prinsip bahwa suatu putusan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah antara pertimbangan dengan amar. Oleh karena itu mengenai putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 01/Pdt.PKD/2008/PT.TK. tertanggal 13 Oktober 2008 akan tetapi yang dibatalkan oleh/dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 adalah Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 01/Pdt.PKD/2008/PT.TK. tertanggal 18 September  2008, hal itu tidak dan tidak bisa dianggap dan digolongkan sebagai sekedar kesalahan ketik belaka.

Sebagaimana dikatakan M.Yahya Harahap, pada dasarnya setiap putusan yang dijatuhkan pengadilan harus ditulis menurut kata-kata sesuai dengan huruf yang sebenarnya ; putusan yang lalai menuliskan kata-kata sesuai dengan huruf yang sebenarnya dikualifikasi sebagai putusan yang mengandung kesalahan penulisan atau pengetikan (clerical error).[16]

Mengenai kutipan bagian pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 yang menyatakan bahwa ”tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 4 Nopember 2008 kemudian oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Tinggi Tanjungkarang pada tanggal 18 Nopember 200”, pendapat M. Yahya Harahap,  sangat jelas bahwa hal sedemikian itu tidak bisa lagi  dianggap dan digolongkan sebagai sekedar kesalahan pengetikan belaka.

Demikian hal mengenai tanggal putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang  yang dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 tersebut yaitu ditulis tanggal 18 September 2008 , apabila dihubungkan dengan pendapat M. Yahya Harahap sebagaimana tersebut di atas, maka idak bisa lagi  dianggap dan digolongkan sebagai sekedar kesalahan pengetikan belaka.

Dalam yurisprudensi  Putusan Mahkamah Agung Nomor 1841 K/Pdt/1984 tanggal 23 Nopember 1985, tentang  terdapat atau terjadinya kesalahan  pengetikan yang masih dapat ditolerir dan cukup cuma diperbaiki saja, M. Yahya Harahap,  mengambil contoh[17] :

  • diketik/ditulis ”ditesang” ;
    • padahal mestinya ditulis/diketik ”ditesangkan” (kurang akhiran ”kan.”

Dengan demikian tentang pertimbangan Majelis Hakim Agung pada halaman 18 Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 yang dikutip di atas dan juga tentang putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusannya itu yaitu putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang  tanggal 18 September 2008, yang bukan sekedar kurang akhiran ”kan” saja. Kesalahan sedemikian itu  sudah tidak dapat lagi dianggap atau digolongkan sebagai hanya sekedar kesalahan penulisan atau pengetikan (clerical error) belaka yang dengan demikian sudah tidak bisa ditolerir lagi atau hanya cukup sekedar diperbaiki saja, melainkan harus dengan akibat batalnya demi hukum  putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 taggal 19 Desember 2008.

Bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (dahulu dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) berbunyi :

”Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”

Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, salah satu syarat agar putusan sah dan mempunyai kekuatan hukum adalah harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan ancaman apabila hal itu tidak dipenuhi maka menurut hukum putusan tersebut sejak semula batal demi hukum (van rechtswege nietig, null and void ab intitio) ;

Oleh karena itu memenuhi perintah undang-undang tersebut dan sebagaimana tercantum di halaman  akhir putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 itu sendiri, putusan tersebut itupun diucapkan di muka sidang terbuka untuk umum, dalam arti kata dibacakan oleh Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus perkara tersebut yakni Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, dkk.  ;

Bahwa dari fakta sedemikian itu benar-benar  tidak berdasarkan logika hukum jika sejumlah kesalahan di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 33 PK/KPUD/2008 tanggal 19 Desember 2008 tersebut hanyalah sekedar kesalahan penulisan atau pengetikan belaka ; kalau semua itu hanya kesalahan pengetikan belaka kenapa ketika masing-masing hakim agung yang duduk di Majelis Hakim Agung yang memeriksa, memutus dan membacakan putusan tersebut tidak menemukan kesalahan itu dan tidak pula serta-merta mengoreksi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan itu dengan cara me-renvoi masing-masing kesalahan itu ;

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1  Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya tentang eksistensi Pasal 103 ayat (1) huruf e dan Aspek serta bekerjanya hukum dalam melihat eksistensi hukum Pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. 1. KPUD telah melakukan penafsiran yang luas terhadap Pasal 103 ayat (1) huruf e. Bahwa pasal tersebut dapat dilaksanakan diluar waktu dan tempat peristiwa konkret yang terjadi. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 103 UU nomor 32  cukup jelas.
  2. 2. KPUD meskipun telah salah dalam menafsirkan Pasal 103 ayat (1) huruf e, akan tetapi relasinya dengan KPUD selakuj penyeolenggara Pilkada, memiliki kekuasaan untuk melaksanakan penghitungan ulang surat suara tidak sah sehingga penghitungan ulang tetap dilaksanakan.
  3. 3. Bahwa Segi Hukum pelaksanaan Penghitungan ulang, oleh lembaga peradilan di Lampung Utara (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) tidak cukup memiliki pengetahuan dan pengalaman yuridis terhadap perkara inkonkreto, sehingga tidak ada tindakan hukum untuk menghentikan atau memproses secara cepat perkara tersebut sebagai perkara yang melanggar Pasal 118 dan Pasal 1119 UU nomor 32 Tahun 2004.
  4. 4. Bekerjanya hukum dalam relasi badan peradilan pidana tidak terlepas dari aspek politik, sosial, ekonomi sehingga bekerjanya hukum menjadi lamban dan tidak mampu menjelaskan kebenaran yang seharusnya dapaat diungkap secara hukum. Demikian juga bekerjanya hukum dalam relasi dengan Mahkamah Agung yang kenyataannya tidak mencerminkan keadilan substansi dari proses hukumj yanag fair trial.

6.2  Saran

Berdasarkan Kesimpulan di atas dapat dikemukakan saran sebagai berikut :

  1. Penyelenggara Pilkada sebaiknya berasal dari unsur yang heterogin yaitu berasal dari Kepolisian dan Perguruan Tinggi dan Organisasi Profesi agar dapat menjamin netgralitas dan tanggung jawab pelaksanaan yang objektif dan demokratis.
  2. Lembaga Peradilan harus menjadi sistem penegakan hukum yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pilkada dengan pemahaman yuridis dari tahapan-tahapan sehingga dapat melakukan analisis yang tepat terhadap penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Rodee, Carlton Clymer 2000, Cs. Pengantar Ilmu Politik,Terj. Hamid Zulkifli,Raja Frafindo:Jakarta.
  1. Macridis, Roy C. 1996 Perbandingan Politik;Catatan dan Bacaan, Erlangga:Jakarta.
  1. Kelsen, Han 2006, Teori Hukum Murni:Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Nusa Indah:Bandung.
  1. Ronny Hanitiyo Sumitro, Ronnny, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
  1. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji,2003  Penelitian Hukum Normatif Rajawali Press:Jakarta.
  1. Darmodiharadjo dan Sidharta, Dardji, Sidharta, 1995 Pokok-Pokok Filsafat Hukum,Gramedia:Jakarta.
  1. Harahap, M. Yahya, 2008 Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Cet.2 Jakarta.
  1. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
  1. Pedoman Pelaksanan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, Agustus 1993.

10.  Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Penerbit Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah Agung, Jakarta Agustus 1997, Cetakan ke 2,Jakarta,  Oktober 1997.

11.  Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993 ; Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2005, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006.

12.  Pos kota, Jumat 22 Agustus 2008.

  1. Kompas, Jumat, 12 September 2008.
  2. Sinar Indonesia Baru, 8 Oktober 2008 sumber Metro TV.

15.  Supriyatno, 2008 Peraturan Pemilihan Kepala Daerah;PILKADA,Pustaka Mina :Jakarta.

  1. Dirjen Otda Depdagri, Makalah, Evaluasi Satu Tahun Pilkada, tanggal 28 Juni 2006.
  1. Sutoro Eko, Menghapus Pilkada Langsung Yogyakarta.

18.  Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, 2007 Pustaka Yusitisia:Jakarta.


[1] Jumat 22 Agustus 2008, (Pos Kota) Jelang digelarnya pemilihan bupati (pilbup), calon Bupati Lampung Utara, Hj. Zubaidah Hambali, 55, meninggal dunia di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta. Meninggalnya Hj. Zubaidah menyisakan persoalan serius bagi partai Golkar yang akan terancam hak politiknya sebagai partai pengusung. KPU tidak mungkin melakukan penggantian calon, karena kotak suara sudah dicetak dengan foto Hj. Zubaidah Hambali. Untuk mengganti, tidak ada waktu lagi mengingat pilbup akan digelar 3 September 2008.

[2] Bachtiar-Slamet Tolak Hitung Ulang – Pasangan kandidat bupati-wakil bupati Lampung Utara nomor urut dua, Bachtiar Basrie-Slamet Haryadi, menolak penghitungan ulang yang dilakukan KPU Lampung Utara. Pasalnya, pada penghitungan ulang, mereka yang awalnya unggul dinyatakan kalah dari pasangan lain. Pasangan usungan Koalisi Lampung Utara Bersatu tersebut mendatangi Kantor Bupati, KPU, dan Polres Lampung Utara pada Kamis (11/9) untuk meminta KPU mempertanggungjawabkan penghitungan ulang yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan keputusan KPU Lampung Utara. Pasangan itu juga meminta KPU Lampung Utara untuk berperan adil pada penghitungan suara Pilkada Lampung Utara. Pasangan itu mendatangi tiga tempat tersebut disertai 4.000 pendukung. Ketua Koalisi Lampung Utara Bersatu (KLUB) Syamsu Erfan Zen yang dihubungi Kompas mengatakan, masalah timbul setelah salah satu pasangan calon, yaitu pasangan calon nomor tujuh, Zubaidah Hambali-Subhan Effendi usungan Partai Golkar, digugurkan karena Zubaidah meninggal Jumat, 12 September 2008, Kompas.

[3] Lampung Utara (SIB) Mungkin sebagian orang menganggap, KPU tak mampu diseret ke meja hukum terkait kasus Pilkada. Sebuah anggapan yang wajar, karena belum pernah terjadi. Tapi kali ini tidak, karena Kapolda Lampung menetapkan seluruh anggota KPUD Lampung Utara sebagai tersangka.
Kepolisian Daerah Lampung menetapkan semua anggota KPUD Lampung Utara sebagai tersangka. Penetapan ke 5 anggota KPUD tersebut karena dianggap telah melakukan tindak pidana dalam Pilkada Lampung Utara 3 September lalu.

Mereka melakukan penghitungan suara tidak sah, di mana hasil penghitungan itu memenangkan pasangan Zainal Abidin dan Rohimat Aslan sekaligus menganulir pasangan Bahtiar dan Selamat Hariadi.
Kapolda Lampung mengatakan penghitungan ulang itu melanggar pasal 118 UU no 32 tahun 2004 yakni penghitungan ulang tanpa sepengetahuan panitia pemilihan kecamatan.
Di samping penetapan anggota KPUD Lampung Utara sebagi tersangka, ternyata Pilkada Lampung Utara masih dalam sengketa di mana saat ini dalam proses di Pengadilan Tinggi Lampung.
Pasangan Bahtiar, Slamat yang diusung koalisi partai kecil menggugat KPUD Lampung Utara karena kemenangan mereka dianulir melalui penghitungan ulang padahal sebelumnya mereka unggul tipis atas pasangan Zainal. Oktober 8th, 2008 (Metro TV).

[4] Baca Peraturan Pemilihan Kepala Daerah;PILKADA, Supriyatno,SH.,MH.,2008, (Jakarta.;Pustaka Mina)

[5] Selama setahun pelaksanaannya (dari Juni 2005 hingga Juni 2006), pilkada telah berlangsung di 250

daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Dirjen Otda Depdagri, Evaluasi Satu Tahun Pilkada, tanggal 28 Juni 2006 di Jakarta.

[6] Sutoro Eko,2008 Makalah, Pilkada Langsung, (IRE) Yogyakarta.

[7] Demokrasi adalah sebuah proses yang bertahap yang dilakukan oleh masyarakat/warganegara di dalam menentukan dan menggunakan hak pilihnya tanpa ada campur tangan tuhan, campur tangan pemerintah. Demokrasi adalah hak pilih universal, hak setiap warga Negara untuk memilih atau dipilih. Pembatasan terhadap itu hanya untuk orang yang belum dewasa.Carlton Clymer Rodee, Cs. Pengantar Ilmu Politik,Terj..Hamid Zulkifli,2000 (Raja Frafindo:Jakarta). Hlm.218 Baca juga Roy C.Macridis,Bernard E.Brown, Perbandingan Politik;Catatan dan Bacaan,1996 (Erlangga:Jakarta),hlm.75-.108.

[8] Tentang KPU sebagai Penyelenggara Pemilihan Umum, baca Undang-Undang Penyelenggara Pemilu Nomor 22 Tahun 2007, 2007 (Pustaka Yusitisia:Jakarta).

[9] Lihat Ronny Hanitiyo Sumitro,SH.2004, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri (Jakarta:Ghalia Indonesia),hal.11 dan hlm.22. Baca juga Soerjonjo Soekanto, Sri Mamuji,2003  Penelitian Hukum Normatif (Rajawali Press:Jakarta),hlm.43.

[10] Teori hukum murni adalah teori hukum positif. Sebagai sebuah teori, terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada. Bukan bagaimana semestinya ada. Tujuan teori hukum murni adalah membersihkan ilmu hukum dari unsure-unsur asing. Inilah landasan metodologis teori ini. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni:Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif,2006 (Nusa Indah:Bandung) Hlm.2-3.

Baca juga, Dardji Darmodiharadjo,Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,(Gramedia:Jakarta),hlm.98. Menurut Hans Kelsen Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang no yuridis, seperti unsure sosiologis, politis, historis. Hukum sebagai suatu keharusan bukan kategori faktual.

[12] Bandingkan, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota yaitu :

Pasal 2 ayat (5) Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi memutus permohonan keberatan pada tingkat pertama dan terakhir.

Pasal 3 ayat (5) Keberatan yang diajukan oleh Pemohon atau kuasa hukumnya wajib menguraikan dengan jelas dan rinci tentang; a. Kesalahan dari Penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD dan hasil suara penghitungan yang benar menurut Pemohon; b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara  yang diumumkan KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”

Pasal 4 Ayat (6) Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat.

[13] Pedoman Pelaksanan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, Agustus 1993 ; dan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Penerbit Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah Agung, Jakarta Agustus 1997, Cetakan ke 2,Jakarta,  Oktober 1997

[14] Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993 ; Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2005, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006.

[15] M. Yahya Harahap, SH, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Penerbit Siar Grafika, Cetaka Kedua, Jakarta, Agustus 2008, terutama hlm. 357 – 359

[16] M.Yahya Harahap, Ibid.

[17] M. Yahya Harahap, SH, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Penerbit Siar Grafika, Cetaka Kedua, Jakarta, Agustus 2008, terutama hlm. 357 – 359)

Leave a comment

Filed under Artikel

STUDI PEMBENTUKAN KOTA KOTABUMI DAN PEMEKARAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA

LAPORAN PENELITIAN

STUDI PEMBENTUKAN KOTA KOTABUMI DAN PEMEKARAN

KABUPATEN LAMPUNG UTARA

TIM PENELITI

  1. SLAMET HARYADI,SH.,M.HUM (Ketua)
  2. DRS. DADANG ISHAK ISKANDDAR,MM (Anggota)
  3. LAKSAMANA BANGSAWAN,S.Sos.(Anggota)

ASOSIASI PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA

KOMISARIAAT LAMPUNG UTARA

2006

ABSTRACT

Development issue of region and forming of otonomous area have come to trend in autonomous era. Because with development of region or forming of otonomous area just expected to bring acceleration of development, efficiency span to control prosperity and governance pass generalization and extension.

Recidence of   North Lampung have thrice experiencing of development that is Lampung Barat (1991), Tulang Bawang (1997) and Way Kanan (1999). Desire of the development it is true have old planned, because Recidence of North Lampung include cover 58% region of Lampung Province and become its  slowgoing recidence.

But there is still remain from thrice the development that is, desire form Kotabumi become Town. At least there is three strategic aspect which push desire forming of Town of Kotabumi, that is  first, geographical aspect, Kotabumi become town which its    reside in recidence midst which is growing, that is Lampung Barat, Way Kanan dan Tulang Bawang.   Its town  which is small relative is easy to accessed by transportation moda.

Both economic aspect, Kotabumi represent biggest town in upstate of Lampung Province, becoming transito, its farm of fertility, industrial base on agriculture is growing, and infrastructure and also its economic institute very is supporting.

Third aspect of histories, Kotabumi represent one of the eldest town in Lampung Province, ex wide of region, and have become center commerce of regional.

By paying attention third the strategic aspect and also desire of society of Kotabumi to realize   to become town, hence require to be  conducted  by an analysis which  is  antecedent ebrsufat utilize to support the the desire as according to UU No. 32 year 2004 about Governance of Area and Regulation of Government of No. 129 year 2000 Procedures Forming of Area.

Analysis include cover physical condition regarding wide of technical condition and region which include cover ability of economics, area potency, demography,  cultural social and political social, and also other supporters. Analysis method use adapted for by descriptive analysis technique of ratios of is set in PP No. 129 year 2000. Basically pursuant to calculation with method of competent Kotabumi to be able to be realized to become town, not again simply district becoming Capital Of Regency North of Lampung. Continue reading

1 Comment

Filed under Artikel

Selamat Berkunjung Ke BLOG saya

1 Comment

Filed under Artikel

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

1 Comment

Filed under Uncategorized